ap – Ketidakhadiran Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada pelantikan menteri tanggal 17 September 2025 menjadi sorotan tajam. Publik bertanya-tanya alasan di balik absennya orang nomor dua di Indonesia itu. Berbagai spekulasi pun mulai bermunculan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan penjelasan resmi terkait absennya sang Wapres. Menurut Jokowi, Gibran sedang menjalankan kunjungan ke luar negeri. Penjelasan ini disampaikan Jokowi di kediamannya, Sumber, Banjarsari, pada Jumat, 19 September.
Jokowi menegaskan bahwa anak sulungnya tersebut baru saja kembali dari kunjungan penting. “Wapres kemarin kan baru kunjungan ke Papua Nugini,” kata Jokowi. Pernyataan ini bertujuan untuk meredakan pertanyaan publik.
Namun, penjelasan ini tidak serta merta meredakan semua pertanyaan. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno mengamati situasi tersebut. Ia menilai bahwa alasan kunjungan ke luar negeri sebetulnya sah secara politik.
Adi menyebut, publik seringkali tidak mengetahui detail persis di balik keputusan politik. “Itu konsumsi elite tertentu,” ujar Adi. Bagi publik, informasi yang tersedia adalah pengakuan “resmi” dari orang dalam.
Pengakuan resmi dari lingkaran istana tentang penugasan di Papua Nugini sah menjadi rujukan. Hal ini disampaikan Adi Prayitno saat dihubungi pada Sabtu, 20 September 2025. Namun, ia juga menyoroti aspek lain.
Meskipun ada penjelasan resmi, Adi melihat wajar jika publik tetap berspekulasi liar. Ketidakhadiran Gibran pada momen penting bukan hanya terjadi sekali. Hal ini memicu pertanyaan lebih dalam.
“Tapi di luar itu, publik selalu berspekulasi liar,” kata Adi. Publik melihat situasi ini tidak sesederhana ada penugasan lain. Ada sejumlah momen penting yang dilewatkan oleh Wapres Gibran.
Adi mencontohkan salah satu momen tersebut. Saat Presiden Jokowi mengadakan konferensi pers dengan ketua umum partai-partai. Pertemuan itu membahas kisruh politik pada akhir Agustus lalu.
Dalam pertemuan penting yang melibatkan para pemimpin partai itu, Gibran tidak tampak hadir. Kehadiran Wapres seharusnya melengkapi barisan kepemimpinan negara. Absennya Gibran menjadi catatan tersendiri.
Selain itu, momen pelantikan menteri yang baru saja berlangsung juga dilewatkan. Padahal, pelantikan menteri merupakan momen sakral kenegaraan. Ini adalah peristiwa penting dalam roda pemerintahan.
Menteri yang dilantik akan membantu Presiden dalam menjalankan tugas negara. Kehadiran Wapres biasanya menjadi simbol dukungan dan soliditas. Absennya Gibran kembali memunculkan pertanyaan.
Karena itulah, Adi Prayitno menilai anggapan publik soal adanya sesuatu yang tak wajar sangatlah masuk akal. Serangkaian ketidakhadiran ini membentuk pola. Pola yang mengundang keraguan.
“Wajar jika publik menerka ada sesuatu yang tak wajar, ada sesuatu yang tak biasa,” ujarnya. Hal ini terutama terkait ketidakhadiran Wapres di momen spesial seperti pelantikan.
Namun, Adi juga mengakui bahwa kebenaran persisnya hanya diketahui oleh segelintir orang. “Persisnya hanya apa yang terjadi, hanya elite-elite kunci negeri saja yang tahu,” kata Adi.
Publik hanya bisa melihat dari permukaan. Mereka merasakan adanya keanehan, meskipun tidak mengetahui detailnya. “Tapi publik melihat ada sesuatu yang terkesan aneh. Meski itu entah apa,” tambahnya.
Kembali ke penjelasan Presiden Jokowi, ia memastikan Gibran sedang menjalankan tugas negara. Kunjungan ke Papua Nugini adalah agenda penting. Agenda itu adalah bagian dari diplomasi luar negeri.
Peran seorang wakil presiden sangat krusial dalam setiap agenda kenegaraan. Kehadiran mereka seringkali menjadi simbol stabilitas dan keutuhan kabinet. Absennya dapat memicu interpretasi luas.
Dalam politik, persepsi seringkali sama pentingnya dengan realitas. Ketika seorang wakil presiden absen dari dua acara penting berturut-turut, sinyal politiknya dapat beragam. Ini menjadi bahan perbincangan.
Pelantikan menteri bukan sekadar upacara formalitas. Ini adalah momen pengukuhan jabatan yang mengikat komitmen. Maka, ketidakhadiran Wapres di sini menjadi lebih signifikan.
Publik, dengan informasi terbatasnya, cenderung mencari jawaban di balik narasi resmi. Ini adalah refleksi dari harapan akan transparansi. Dan juga hak untuk memahami dinamika kepemimpinan.
Kesenjangan informasi antara “konsumsi elite tertentu” dan apa yang diterima publik menciptakan ruang spekulasi. Hal ini lumrah dalam sistem politik yang kompleks. Setiap gerakan kecil bisa ditafsirkan.
Para analis politik seperti Adi Prayitno berperan penting dalam menjembatani kesenjangan ini. Mereka menganalisis gerak-gerik politik. Kemudian menerjemahkan implikasinya kepada masyarakat.
Tentu, kunjungan ke luar negeri adalah bagian dari tugas seorang Wapres. Namun, penjadwalan yang berbenturan dengan agenda domestik penting menimbulkan pertanyaan. Prioritas menjadi bahan evaluasi.
Jika hanya satu kali absen, mungkin tidak terlalu menarik perhatian. Namun, beberapa kali ketidakhadiran pada momen krusial menambah bobot keanehan. Ini membangun narasi ‘ada sesuatu’.
Apa ‘sesuatu’ yang tidak diketahui publik itu? Hanya sedikit orang yang memegang jawabannya. Misteri ini terus mengitari ruang diskusi publik. Menanti pencerahan lebih lanjut.
Kondisi ini, terlepas dari alasan sebenarnya, dapat menciptakan kesan tertentu. Kesan tentang kurangnya koordinasi atau perbedaan pandangan. Meskipun belum tentu benar, persepsi ini bisa berkembang.
Pada akhirnya, kejadian ini kembali menguji sejauh mana transparansi dan akuntabilitas. Publik berhak mendapatkan informasi yang jelas. Terutama mengenai sosok yang mereka pilih untuk memimpin.
Maka, ketidakhadiran Gibran di pelantikan menteri akan terus menjadi topik. Sebuah perdebatan antara penjelasan resmi dan spekulasi yang berkembang di tengah masyarakat. Menunggu waktu yang akan menjawab.
