ap – Wacana Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak kembali menyeruak. Namun, usulan yang tercatat dalam daftar panjang Prolegnas 2025-2029 ini mendapat bantahan keras dari Komisi XI DPR RI.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Mohamad Hekal, menegaskan bahwa RUU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty bukanlah usulan dari pihaknya. Pernyataan ini sekaligus menepis spekulasi yang beredar di publik.
Hekal dengan tegas membantah keterlibatan Komisi XI dalam menginisiasi RUU tersebut. Ia mengklaim tidak pernah ada surat atau permintaan resmi dari Komisi XI agar RUU Pengampunan Pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas.
“Tidak ada pembahasan tentang ini. Sudah pasti keliru itu,” tegas Hekal saat dikonfirmasi Media Indonesia pada Minggu, 21 September. Bantahan ini disampaikan untuk meluruskan informasi yang mungkin telah menimbulkan persepsi yang salah.
Politikus dari Partai Gerindra itu menjelaskan bahwa fokus Komisi XI saat ini jauh berbeda. Mereka justru lebih memprioritaskan RUU lain yang dianggap lebih krusial untuk masa depan keuangan negara.
Menurut Hekal, Komisi XI memilih untuk mendorong RUU Keuangan Negara agar dapat masuk dalam Prolegnas Prioritas 2026. Usulan ini menunjukkan arah legislasi yang berbeda dari RUU Pengampunan Pajak.
RUU Keuangan Negara, kata Hekal, menempati posisi ke-18 dalam daftar usulan prioritas. Ini merupakan usulan baru yang diajukan oleh DPR melalui Komisi XI, menandakan komitmen terhadap reformasi sektor keuangan.
“UU prioritas yang kita dorong justru RUU Keuangan Negara,” jelasnya, mempertegas prioritas legislatif Komisi XI. Pernyataan ini sekaligus menyoroti pentingnya tata kelola keuangan negara yang lebih baik.
Penolakan terhadap RUU Pengampunan Pajak juga datang dari eksekutif. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya telah memberikan sinyal ketidaksetujuannya terhadap rencana penerapan kembali tax amnesty.
Sikap Menkeu ini didasari kekhawatiran akan timbulnya ‘moral hazard’ jika program pengampunan pajak diterapkan secara berulang. Konsep moral hazard menjadi poin krusial dalam pertimbangan kebijakan fiskal.
Menurut Purbaya, kebijakan pengampunan pajak yang terus-menerus dapat merusak kepatuhan wajib pajak. Ini berpotensi menciptakan preseden buruk yang tidak diinginkan dalam sistem perpajakan nasional.
“Kalau amnesti dilakukan berkali-kali, maka pembayar pajak akan berpikir bahwa melanggar kewajiban pajak tidak masalah, karena nanti akan ada pengampunan lagi,” ujar Purbaya di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat, 19 September.
Ia melanjutkan, “Itu sinyal yang tidak baik,” menekankan dampak negatif jangka panjang terhadap integritas sistem perpajakan. Sinyal ini dapat melemahkan semangat kepatuhan pajak di kalangan masyarakat dan dunia usaha.
Purbaya menjelaskan bahwa moral hazard terjadi ketika individu atau entitas menjadi kurang berhati-hati dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Mereka akan berharap adanya “bailout” atau pengampunan di kemudian hari.
Fenomena ini dapat menciptakan lingkaran setan. Para pelanggar pajak akan merasa aman karena ada janji pengampunan, sementara wajib pajak patuh merasa dirugikan dan tidak adil atas kebijakan tersebut.
Dampak yang lebih luas adalah erosi kepercayaan terhadap pemerintah dan sistem perpajakan itu sendiri. Masyarakat akan mempertanyakan konsistensi penegakan hukum dan keadilan dalam kebijakan fiskal.
Menkeu menegaskan bahwa strategi pemerintah saat ini seharusnya berfokus pada pengoptimalan regulasi yang sudah ada. Hal ini untuk meminimalkan praktik penggelapan pajak yang masih marak terjadi.
Penguatan instrumen hukum dan pengawasan diyakini lebih efektif daripada memberikan ampunan. Ini akan menciptakan kepastian hukum dan iklim investasi yang lebih sehat bagi para pelaku ekonomi.
Pemerintah juga perlu mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Pertumbuhan ini diharapkan akan secara otomatis meningkatkan penerimaan pajak tanpa perlu menaikkan rasio pajak (tax ratio).
Strategi ini mengandalkan basis ekonomi yang kuat. Dengan semakin banyak aktivitas ekonomi, otomatis penerimaan pajak akan meningkat, meskipun rasio pajak tetap konstan atau bahkan dapat dikurangi di masa depan.
Konsepsi ini berbeda dengan pendekatan yang mengandalkan ‘jurus’ pengampunan pajak sebagai solusi instan. Pendekatan jangka panjang dinilai lebih fundamental dan berkelanjutan untuk kesehatan fiskal negara.
Perdebatan mengenai pengampunan pajak memang bukan hal baru di Indonesia. Beberapa kali, kebijakan serupa telah diterapkan dengan beragam tujuan, mulai dari repatriasi modal hingga peningkatan basis pajak.
Namun, setiap kebijakan memiliki konsekuensi. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa pengampunan pajak memang bisa meningkatkan penerimaan dalam jangka pendek, tetapi isu moral hazard selalu membayangi.
Para ahli ekonomi dan pengamat kebijakan fiskal kerap menyoroti dilema ini. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menarik dana yang parkir di luar negeri atau merangkul wajib pajak yang belum patuh sepenuhnya.
Di sisi lain, ada prinsip keadilan dan penegakan hukum yang harus dijaga. Kebijakan yang terlalu akomodatif dapat dianggap sebagai bentuk toleransi terhadap pelanggaran pajak, yang merugikan pembayar pajak patuh.
Oleh karena itu, penolakan dari Komisi XI dan sinyal negatif dari Menteri Keuangan terhadap RUU Pengampunan Pajak menunjukkan konsensus yang semakin kuat. Fokus beralih ke reformasi struktural.
Inisiatif RUU Keuangan Negara dari Komisi XI menjadi indikasi perubahan paradigma. Legislatif dan eksekutif tampak sejalan dalam memandang perlunya penguatan fondasi keuangan negara dibandingkan jalan pintas.
Pemerintah dan DPR kini dihadapkan pada tantangan untuk mencari solusi yang adil. Mereka harus memastikan penerimaan pajak tetap optimal tanpa mengorbankan prinsip kepatuhan dan keadilan di mata masyarakat.
Kebijakan fiskal di masa depan akan sangat bergantung pada kemampuan sinergi antara lembaga-lembaga ini. Tujuan utamanya adalah menciptakan sistem perpajakan yang kuat, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh warga negara.
Pernyataan Hekal dan Menkeu Purbaya mempertegas bahwa jalan menuju perbaikan sistem perpajakan tidak selalu melalui pintu amnesti. Ada cara lain yang lebih substansial dan berprinsip untuk dicapai.
Mengoptimalkan regulasi yang ada dan mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi pilihan strategis. Ini adalah langkah-langkah yang diharapkan mampu membawa Indonesia menuju kemandirian fiskal yang lebih kokoh.
