SHARM EL-SHEIKH, Mesir – Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 13 Oktober 2025 secara resmi menandatangani kesepakatan gencatan senjata yang mengakhiri konflik berkepanjangan di Gaza. Penandatanganan penting ini dilakukan bersama para pemimpin Qatar, Mesir, dan Turkiye, dalam sebuah KTT perdamaian yang digelar di resor Sharm El-Sheikh, Mesir. Peristiwa ini menandai puncak dari negosiasi intensif yang dimediasi oleh Amerika Serikat dan mitra-mitra regional.
Kesepakatan yang dikenal sebagai “Rencana Perdamaian Gaza untuk perdamaian di Timur Tengah” ini mencakup pertukaran sandera dan tahanan yang telah lama dinantikan. Pada hari yang sama, seluruh 20 sandera Israel yang masih hidup, yang sebelumnya ditahan oleh Hamas, telah dibebaskan dan dikembalikan ke Israel. Selain itu, jenazah empat sandera yang meninggal dunia juga turut dipulangkan. Sebagai bagian dari kesepakatan timbal balik, Israel membebaskan hampir 2.000 tahanan dan tahanan Palestina. Adegan emosional mewarnai Tel Aviv dan Gaza saat keluarga-keluarga bersatu kembali dengan orang-orang tercinta mereka, seperti dilansir ABC News.
Gencatan senjata itu sendiri secara resmi mulai berlaku pada 10 Oktober 2025, tiga hari sebelum penandatanganan perjanjian final ini, menghentikan permusuhan yang telah menyebabkan kerusakan luas dan penderitaan kemanusiaan. Presiden Trump memuji kesepakatan ini sebagai pencapaian luar biasa yang akan bertahan lama. “Dibutuhkan 3.000 tahun untuk mencapai titik ini. Bisakah Anda percaya itu? Dan itu akan bertahan,” kata Presiden Trump seperti dilansir CBS News, menyoroti kompleksitas dan lamanya upaya untuk mencapai perdamaian di wilayah tersebut.
KTT di Sharm El-Sheikh menjadi tuan rumah bagi lebih dari 20 pemimpin dunia yang berkumpul untuk mendukung kesepakatan gencatan senjata. Selain Presiden Trump dan para pemimpin negara penjamin – Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani, dan Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdoğan – acara ini juga dihadiri oleh Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Friedrich Merz, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, dan mantan Perdana Menteri Tony Blair. Delegasi dari negara-negara seperti Yordania, Uni Emirat Arab, Armenia, Azerbaijan, Bahrain, Kanada, Siprus, Uni Eropa, Yunani, Hungaria, India, Indonesia, Irak, Italia, Jepang, Kuwait, Belanda, Norwegia, Oman, Pakistan, Paraguay, Arab Saudi, dan Spanyol juga turut hadir, menandakan dukungan internasional yang luas terhadap inisiatif perdamaian ini.
Dalam pidatonya, Presiden Trump menekankan pentingnya demiliterisasi Gaza sebagai prasyarat untuk rekonstruksi. “Rekonstruksi Gaza juga memerlukan demiliterisasi,” tambah Trump, sebagaimana dilaporkan oleh Al Jazeera, menggarisbawahi tantangan keamanan yang akan dihadapi di masa depan. Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi menyambut hari itu sebagai “tonggak sejarah yang mengakhiri babak yang menyakitkan,” menurut BBC, menggambarkan harapan besar yang diemban oleh perjanjian ini.
Kesepakatan ini juga membuka jalur vital untuk bantuan kemanusiaan. Bantuan, termasuk makanan, pasokan medis, dan bahan bakar, kini mulai mengalir ke Gaza, sebuah wilayah yang sangat membutuhkan setelah konflik. Perjanjian tersebut menetapkan izin masuknya 600 truk bantuan setiap hari ke wilayah tersebut. Farhan Haq, wakil juru bicara PBB, menyatakan bahwa organisasinya siap memastikan pasokan bahan bakar yang cukup dan persediaan penyelamat nyawa akan siap masuk ke Gaza setelah gencatan senjata berlaku efektif, seperti dilansir CBS News. PBB juga mengalokasikan tambahan sebesar 11 juta dolar AS dari dana darurat untuk mendukung peningkatan bantuan kemanusiaan di Gaza menjelang musim dingin, menunjukkan komitmen global untuk meringankan krisis kemanusiaan.
Terlepas dari optimisme yang muncul, tantangan besar tetap membayangi. Zeidon Alkinani, seorang pengajar di Georgetown University di Qatar, mengamati pentingnya penyelarasan para pemimpin global dalam mengakhiri konflik ini. “Kami melihat para pemimpin global ini berkumpul bersama, memastikan mereka semua selaras, bahwa mereka ingin mengakhiri konflik ini,” kata Alkinani kepada Al Jazeera. Namun, ada juga kekhawatiran mengenai pemerintahan pasca-perang di Gaza, khususnya mengenai potensi peran tokoh-tokoh pro-Israel, termasuk mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan menantu Trump, Jared Kushner.
Trump sendiri mengakui kesulitan dalam memediasi perjanjian ini. Gencatan senjata yang ia bantu broker adalah “terobosan yang paling menantang dari semuanya, mungkin terobosan yang paling menantang yang pernah ada,” ujarnya seperti dikutip BBC. Pertanyaan mengenai peran Otoritas Palestina di Gaza di masa depan juga masih belum terjawab, seperti dilaporkan BBC, menambah lapisan kompleksitas pada perjalanan menuju perdamaian yang berkelanjutan. Meskipun perjanjian ini merupakan langkah maju yang signifikan, implementasi penuhnya dan upaya untuk membangun kembali serta menstabilkan Gaza akan membutuhkan komitmen dan kerja sama internasional yang berkelanjutan.
