Bupati Pati Sudewo Kembali Diperiksa KPK, Sorotan Kasus Korupsi Proyek Kereta Api

8 Min Read

ap – Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi saksi bisu. Pagi itu, Bupati Pati Sudewo melangkahkan kakinya menuju ruang pemeriksaan. Kedatangannya menandai babak baru dalam penyidikan kasus dugaan korupsi. Fokus utama adalah pengadaan proyek pembangunan jalur kereta api di wilayah Jawa Tengah. Khususnya, di sekitar area Solo Balapan. Proyek ini berada di bawah lingkup Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan. Hari Rabu, 27 Agustus, menjadi tanggal penting bagi perjalanan kasus ini.

Sudewo tiba di markas lembaga antirasuah tersebut sekitar pukul 09.42 WIB. Penampilannya terkesan tenang, namun ia memilih irit bicara. Hanya beberapa patah kata yang keluar dari bibirnya. Ia didampingi oleh dua orang. Identitas kedua pendamping tersebut tidak diketahui publik. Mereka tampak mendampingi Sudewo sejak kedatangan hingga masuk ke dalam gedung.

“Ya, memenuhi panggilan,” ujar Sudewo singkat. Kalimat tersebut menjadi satu-satunya respons yang diberikannya kepada awak media. Pertanyaan-pertanyaan lain dari jurnalis hanya dibalas dengan senyuman atau anggukan kecil. Sikapnya menunjukkan kehati-hatian dalam berkomentar di hadapan publik. Terutama saat menghadapi proses hukum yang sedang berjalan.

Bupati Pati itu juga menegaskan bahwa ia tidak membawa dokumen apapun. Tidak ada berkas yang turut serta dalam kunjungannya kali ini. Hal ini mengindikasikan bahwa pemeriksaan mungkin lebih berfokus pada keterangan lisan. Atau, bisa jadi penyidik telah memiliki semua dokumen yang diperlukan. Proses pemeriksaan di KPK memang kerap membutuhkan keterangan langsung dari para saksi.

Pemeriksaan pada hari itu bukanlah panggilan pertama bagi Sudewo. Agenda ini merupakan penjadwalan ulang. Sebelumnya, pada hari Jumat, 22 Agustus, ia berhalangan hadir. Permintaan penjadwalan ulang ini dikabulkan oleh pihak KPK. Ini menunjukkan adanya koordinasi antara KPK dan Sudewo. Tujuannya agar proses hukum tetap berjalan lancar tanpa hambatan berarti.

Kasus yang menyeret Sudewo ini berakar dari masa lampau. Tepatnya saat ia masih menjabat sebagai Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pada periode tersebut, Komisi V membidangi infrastruktur dan transportasi. Sektor ini memang rentan terhadap praktik korupsi. Sudewo merupakan kader dari Partai Gerindra. Posisinya sebagai legislator tentu memberinya pengaruh signifikan dalam pembahasan proyek-proyek strategis.

Keterlibatannya sebagai anggota DPR RI menjadi krusial. Perannya dalam pengawasan dan legislasi menjadi sorotan. Dugaan korupsi pengadaan proyek kereta api ini berkaitan erat dengan lingkungan DJKA Kemenhub. Proyek pembangunan jalur kereta api di Jawa Tengah adalah bagian vital dari pembangunan infrastruktur nasional. Karena itu, setiap penyimpangan sangat merugikan negara.

Hingga saat ini, materi spesifik yang akan didalami penyidik KPK dari Sudewo belum terungkap. Namun, rekam jejak penyidikan kasus ini telah memberikan petunjuk. KPK sebelumnya pernah menyita sejumlah uang. Totalnya mencapai Rp3 miliar. Uang tersebut disita dari Sudewo dalam penanganan kasus. Kasus ini terkait dugaan suap proyek pengadaan barang dan jasa di DJKA Kemenhub. Penyitaan ini menjadi salah satu bukti kunci yang dimiliki KPK.

Penyitaan uang Rp3 miliar itu terungkap dalam sebuah persidangan. Sidang tersebut digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang. Momen tersebut terjadi pada bulan November 2023 lalu. Dua terdakwa utama dalam kasus ini adalah Kepala Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah, Putu Sumarjaya. Terdakwa lainnya adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) BTP Jawa Bagian Tengah, Bernard Hasibuan.

Sudewo sendiri dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan tersebut. Kehadirannya tentu sangat penting untuk mengungkap fakta-fakta. Jaksa KPK saat itu menunjukkan barang bukti yang kuat. Bukti tersebut berupa foto uang tunai. Uang tersebut terdiri dari pecahan rupiah dan mata uang asing. Penampakannya jelas menunjukkan sejumlah besar uang yang disita. Penyitaan itu dilakukan dari rumah Sudewo.

Namun, Sudewo tidak tinggal diam. Ia memberikan pembelaannya di muka persidangan. Ia mengklaim bahwa uang yang disita oleh KPK memiliki sumber yang sah. Menurutnya, uang tersebut merupakan gaji yang diperolehnya selama menjabat sebagai anggota DPR. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa sebagian uang merupakan hasil dari usahanya. Pengakuan ini menjadi inti dari argumen pembelaannya.

“Uang gaji dari DPR, kan diberikan dalam bentuk tunai,” kata Sudewo. Pernyataan ini disampaikan dalam persidangan. Sidang itu dipimpin oleh Hakim Ketua Gatot Sarwadi. Keterangan Sudewo ini dilansir oleh Kantor Berita Antara. Dalihnya adalah gaji anggota DPR memang kadang kala diterima dalam bentuk fisik. Hal ini menjadi poin yang dipertimbangkan dalam kasusnya.

Klaim Sudewo ini menjadi salah satu fokus persidangan. Pihak penuntut umum tentu akan mencoba membuktikan sebaliknya. Sumber uang adalah elemen krusial dalam kasus korupsi. Pembuktian asal-usul kekayaan menjadi kunci. Transparansi keuangan pejabat publik selalu menjadi tuntutan masyarakat. Terutama dalam upaya pemberantasan korupsi yang masif.

Kasus ini menambah daftar panjang kasus korupsi yang ditangani KPK. Lembaga antirasuah tersebut terus berupaya membongkar jaringan korupsi. Sektor infrastruktur, khususnya perkeretaapian, menjadi perhatian khusus. Proyek-proyek besar di sektor ini seringkali menjadi celah. Oknum-oknum tak bertanggung jawab memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Kerugian negara akibat praktik semacam ini sangat besar.

Penyidikan terhadap Sudewo ini bukan hanya tentang dirinya. Ini adalah bagian dari upaya besar. Upaya tersebut untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih. Masyarakat menaruh harapan besar pada KPK. Harapan agar setiap tindak pidana korupsi dapat diungkap secara tuntas. Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Siapapun yang terlibat harus bertanggung jawab di mata hukum.

Penting untuk diingat bahwa proses hukum masih berjalan. Sudewo saat ini berstatus sebagai saksi. Namun, status ini bisa saja berubah seiring berjalannya penyidikan. KPK memiliki wewenang untuk mendalami setiap fakta baru. Fakta-fakta tersebut mungkin muncul selama proses pemeriksaan. Setiap keterangan dari saksi akan diuji kebenarannya dan dicocokkan dengan bukti lainnya.

Di tengah proses ini, Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, memberikan penegasan penting. Ia menjelaskan perihal pengembalian uang. Uang yang diduga hasil korupsi, meskipun dikembalikan, tidak akan menghapus pidana. Pernyataan ini kerap disampaikan oleh KPK. Tujuannya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Serta untuk mencegah praktik serupa terulang.

Penegasan Asep Guntur Rahayu ini didasarkan pada landasan hukum yang kuat. Hal tersebut diatur secara eksplisit dalam Pasal 4 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal ini menjadi payung hukum bagi KPK. Untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran hukum tetap diproses. Pengembalian kerugian negara adalah satu hal. Namun, pertanggungjawaban pidana adalah hal lain yang tidak bisa diabaikan.

Dengan demikian, meskipun ada upaya pengembalian aset, proses hukum tetap berjalan. Hal ini penting untuk memberikan efek jera. Juga untuk menjaga integritas sistem hukum di Indonesia. Pemberantasan korupsi tidak hanya berhenti pada pengembalian uang. Lebih dari itu, ia juga mencakup penjatuhan sanksi pidana kepada para pelaku. Ini adalah komitmen KPK dalam menjalankan tugasnya. (ryn/dal)

Share This Article