Naskah RUU Haji Tak Kunjung Dirilis DPR Sejak Dibahas hingga Disahkan

7 Min Read

ap – DPR RI baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Namun, proses legislasi yang cepat ini diwarnai dengan minimnya transparansi. Naskah salinan RUU tersebut tak kunjung dirilis kepada publik. Ini terjadi sejak awal pembahasan hingga akhirnya resmi disahkan menjadi undang-undang. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat.

Panitia Kerja (Panja) RUU tersebut di Komisi VIII DPR RI tak pernah merilis naskah salinan. Dokumen penting itu tidak beredar sama sekali. Hal ini terjadi selama seluruh tahapan pembahasan berlangsung. Informasi yang minim ini sangat disayangkan.

RUU Haji telah disahkan menjadi undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam rapat Paripurna keempat. Momen penting itu terjadi pada masa sidang I 2025-2025, tepatnya Selasa (26/8). Keputusan ini diambil dengan begitu cepat.

Kecepatan proses legislasi ini cukup mencengangkan. Panja RUU Haji menggelar rapat secara maraton. Pembahasan dilakukan kurang dari sepekan. Surpres pembahasan RUU itu sendiri baru diterima DPR pada Kamis (21/8). Ini menunjukkan intensitas kerja yang luar biasa.

Rapat bahkan digelar tanpa mengenal hari libur. Hari Sabtu (23/8) dan Minggu (24/8) lalu, Panja tetap bekerja. Mereka terus membahas draf RUU penting ini. Jadwal yang padat itu menjadi sorotan publik.

Namun, di balik kecepatan pembahasan tersebut, masalah transparansi mencuat. Selama seluruh proses pembahasan, naskah RUU Haji dan Umrah sulit diakses. Dokumen itu tak beredar di kalangan publik maupun media. Upaya untuk mendapatkan akses ke naskah tersebut gagal.

CNNIndonesia.com sebagai salah satu media terkemuka, telah berupaya keras. Mereka menghubungi pimpinan Panja. Mereka juga menghubungi pihak Komisi VIII DPR. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Pihak berwenang tak memberikan respons.

Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, sempat angkat bicara. Ia menyatakan bahwa naskah RUU Haji mestinya tak ada kendala untuk beredar. Apalagi, RUU tersebut telah resmi disahkan. Pernyataan ini disampaikan saat dikonfirmasi.

“Mestinya tidak ada halangan beredar, karena sudah disahkan,” kata Marwan. Ia mengatakannya pada Selasa (26/8) malam. Namun, ketika diminta untuk membagikan naskah tersebut, Marwan tidak merespons. Sikap ini kontradiktif dengan pernyataannya.

Sebelumnya, selama proses pembahasan, Marwan juga memilih diam. Ia tak merespons permintaan naskah RUU Haji dan Umrah. Ini menambah daftar panjang kesulitan akses informasi. Publik dan media kesulitan mengawal proses legislasi.

Sikap serupa juga ditunjukkan oleh Wakil Ketua Komisi VIII, Abidin Fikri. Ia menolak untuk membagikan naskah RUU tersebut. Abidin meminta semua pihak untuk menunggu. Ia ingin menunggu hingga RUU Haji resmi diundangkan Presiden.

“Tunggu saja, menunggu nomor undang-undang dan lembaran negara,” kata Abidin. Pernyataan itu ia sampaikan pada Rabu (27/8). Penundaan akses ini dikritik banyak pihak. Transparansi dinilai menjadi korban.

Ketiadaan akses terhadap naskah RUU selama pembahasan dan setelah pengesahan memicu keprihatinan. Proses legislasi seharusnya terbuka. Publik berhak mengetahui isi dari undang-undang yang akan mengatur kehidupan mereka. Terutama untuk isu penting seperti haji dan umrah.

Tanpa akses terhadap naskah, masyarakat tidak dapat memberikan masukan. Mereka juga tidak bisa memahami poin-poin krusial. Ini bertentangan dengan prinsip demokrasi partisipatif. DPR sebagai wakil rakyat seharusnya menjamin keterbukaan.

Naskah RUU adalah jantung dari setiap pembahasan. Ini adalah dokumen yang menunjukkan kompromi dan kesepakatan. Tanpa naskah ini, pengawasan publik menjadi mustahil. Akuntabilitas pemerintah dan DPR pun dipertanyakan.

Publik bertanya-tanya, mengapa naskah RUU tidak bisa diakses? Apakah ada poin-poin sensitif di dalamnya? Pertanyaan ini menjadi penting. Terutama mengingat isu haji menyangkut jutaan umat Islam di Indonesia.

Transparansi adalah fondasi dari pemerintahan yang baik. Ini juga merupakan hak dasar warga negara. Keterbukaan informasi publik adalah amanat undang-undang. Pengesahan RUU secara tertutup dapat mengikis kepercayaan publik.

Di tengah proses yang cepat dan tertutup ini, ada satu poin penting yang berhasil terkonfirmasi. Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, memberikan kepastian mengenai Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). BPKH tak akan dilebur ke dalam struktur baru Kementerian Haji dan Umrah.

“BPKH tidak, BPKH tetap dikelola badan,” kata Marwan. Pernyataan ini disampaikan dalam jumpa pers usai paripurna pengesahan. Ini adalah salah satu hasil krusial dari pembahasan RUU tersebut. Keputusan ini menjaga independensi BPKH.

Badan haji kini resmi terpisah menjadi kementerian. Ini menyusul pengesahan RUU Perubahan Ketiga Nomor 8 Tahun 2019. Struktur baru ini akan mengatur penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Namun, BPKH akan tetap berada di luar struktur tersebut.

Menurut Marwan, BPKH harus tetap menjadi badan terpisah. Ini adalah keputusan strategis. Pihaknya mengaku tak ingin pengelolaan dan penggunaan uang haji maupun umroh dikelola dalam satu atap. Hal ini bisa sangat berbahaya.

“Karena kita tidak ingin pengumpulan uang, dan penggunaan uang dalam satu atap. Itu bisa berbahaya. Untuk menghindari itu kita pisahkan,” tegas Marwan. Alasan ini sangat kuat. Ini untuk mencegah potensi penyalahgunaan dana.

Dana haji adalah amanah umat. Jumlahnya sangat besar dan sensitif. Pemisahan pengelolaan ini adalah langkah antisipatif. Ini mencegah konflik kepentingan. Ini juga memastikan tata kelola keuangan yang lebih profesional dan akuntabel.

Keputusan mempertahankan BPKH sebagai badan terpisah ini adalah titik terang. Ini menunjukkan komitmen untuk menjaga integritas dana haji. Meskipun proses legislasi RUU ini tertutup, setidaknya ada jaminan pada aspek penting ini.

Namun, misteri naskah RUU Haji yang tak kunjung dirilis tetap menjadi pekerjaan rumah bagi DPR. Publik menuntut transparansi penuh. Informasi yang akurat dan mudah diakses adalah hak. Ini penting untuk mengawal setiap kebijakan yang dibuat. Terlebih, undang-undang yang baru disahkan ini akan memiliki dampak jangka panjang bagi jutaan calon jemaah haji dan umrah Indonesia. Wajar jika publik menantikan kejelasan secepatnya.

Share This Article