ap – Wakil Ketua MPR-RI, Hidayat Nur Wahid (HNW), kembali menegaskan posisinya. Ia menyatakan komitmen kuatnya sebagai anggota Komisi VIII DPR-RI. Perjuangan untuk hak asasi konsumen menjadi agenda utama.
Komitmen ini diwujudkan dengan menyukseskan program sertifikasi halal. Program tersebut kini menjadi inisiatif krusial dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Ini adalah langkah strategis untuk masa depan produk Indonesia.
Dukungan penuh HNW bukan hanya retorika semata. Ini adalah refleksi upaya serius untuk memenuhi hak fundamental konsumen. Masyarakat berhak mendapatkan jaminan kehalalan produk yang mereka konsumsi sehari-hari.
Selain itu, langkah ini sejalan dengan ambisi besar pemerintah Indonesia. Tujuannya adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat industri halal dunia. Visi besar ini didukung dengan berbagai kebijakan pro-rakyat.
Posisi Indonesia sebagai pusat halal global akan membawa dampak ekonomi signifikan. Ini akan membuka pasar ekspor baru dan meningkatkan daya saing produk lokal. Potensi ekonomi syariah akan terangkat ke panggung dunia.
Komitmen nyata HNW dan DPR-RI tercermin jelas dari alokasi anggaran BPJPH. Anggaran ini menjadi penopang utama pelaksanaan program sertifikasi halal. Dukungan finansial sangat krusial.
Terjadi tantangan awal terkait anggaran. Pagu indikatif pemerintah untuk BPJPH pada tahun 2026 semula hanya Rp 216 Miliar. Angka ini dinilai belum optimal untuk mencapai target besar.
Namun, setelah pembahasan alot dan intensif di rapat kerja Komisi VIII DPR, situasinya berubah. Anggota dewan, termasuk HNW, bekerja keras memastikan BPJPH mendapatkan dukungan finansial yang layak. Ini demi kelancaran seluruh program sertifikasi.
“Alhamdulillah, terjadi peningkatan signifikan pada RAPBN 2026,” ujar Hidayat. Anggaran BPJPH kini mencapai angka Rp 551,8 Miliar. Kenaikan ini adalah bukti konkret perjuangan Komisi VIII DPR.
Peningkatan dana ini menjadi angin segar bagi percepatan program sertifikasi. Ini menunjukkan sinergi kuat antara pemerintah dan legislatif. Diharapkan, lebih banyak produk bisa segera tersertifikasi.
Namun, HNW menegaskan bahwa perjuangan belum usai. “Kami di Komisi VIII DPR akan terus memperjuangkan,” katanya. Target ambisius adalah mencapai angka ideal yang diusulkan.
Usulan itu mencapai Rp 2,3 Triliun. Jumlah ini dianggap krusial untuk memastikan skala program yang masif. Dana sebesar itu akan menjamin cakupan sertifikasi yang lebih luas dan merata.
Dengan anggaran yang memadai, Indonesia akan siap bersaing di pasar halal global. Produk-produk lokal memiliki kesempatan besar menembus pasar internasional. Kualitas dan standar halal menjadi prioritas utama.
Kenaikan anggaran langsung berimbas pada target sertifikasi. Sertifikat halal dengan pemeriksaan ditargetkan meningkat tajam. Dari proyeksi 16.000 pada 2025, melonjak menjadi 32.000 pada 2026.
Peningkatan dua kali lipat ini menunjukkan kapasitas BPJPH yang diperkuat. Proses pemeriksaan yang ketat akan tetap terjaga. Ini menjamin produk yang tersertifikasi memenuhi standar tertinggi.
Lebih revolusioner lagi adalah program self-declare. Sertifikat halal self-declare untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga mengalami kenaikan fantastis. Proyeksi 1 juta pada 2025 naik menjadi 3,5 juta pada 2026.
Angka ini mencerminkan fokus pemerintah pada pemberdayaan UMKM. Mereka adalah tulang punggung ekonomi nasional yang perlu dukungan penuh. Dengan akses sertifikasi yang mudah, UMKM akan kian berdaya.
“Program self-declare ini sangat dirasakan manfaatnya,” HNW menjelaskan. Manfaat itu khususnya menyentuh langsung pengusaha mikro. Kini, mereka bisa mengurus sertifikasi halal dengan lebih mudah.
Prosesnya dilakukan tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun. Ini adalah dorongan besar bagi pelaku usaha kecil. Beban finansial yang seringkali menjadi kendala kini dapat dihindari sepenuhnya.
Sertifikat halal terbukti ampuh meningkatkan kepercayaan konsumen. Kepercayaan ini secara langsung berdampak pada produk yang dijual UMKM. Ini memperluas jangkauan pasar mereka ke berbagai segmen.
“Dengan demikian, terjadilah peningkatan maslahat,” sambung HNW. Peningkatan kesejahteraan ini dirasakan langsung oleh pelaku UMKM terkait. Ekonomi lokal kian bergairah dan kompetitif.
DPR juga sukses melakukan koreksi pada sistem sertifikasi. Sebelumnya, proses ini cenderung tersentralisasi di pusat. Kondisi ini menimbulkan kendala geografis bagi banyak daerah di Indonesia.
“Kini, bisa diselenggarakan hingga ke daerah,” HNW melanjutkan. Desentralisasi ini sangat membantu pihak yang memerlukan sertifikasi. Prosesnya menjadi lebih dekat dan efisien bagi semua pihak.
Program self-declare tidak hanya menguntungkan pengusaha. Ia juga menciptakan peluang baru bagi para pendamping proses produk halal (P3H). Mereka mendapatkan insentif menarik.
Ada tambahan penghasilan sebesar Rp 150 ribu per sertifikat yang berhasil dikerjakan. Dana ini dipotong pajak, sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras P3H. Ini adalah peluang ekonomi yang patut dicermati masyarakat.
Melihat peluang ini, HNW mengajak masyarakat untuk turut berpartisipasi. Ia mengundang siapa saja yang berminat menjadi pendamping halal. Caranya adalah menghubungi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) terdekat.
Tujuannya jelas: mempercepat proses sertifikasi produk di seluruh pelosok negeri. Konsumen akan semakin terjamin dengan produk yang sah dan teruji kehalalannya. Ketersediaan pangan halal pun semakin meluas.
“Saya sebagai anggota Komisi VIII turut aktif,” kata HNW. Ia bekerja sama erat dengan P3JPH UIN Syarif Hidayatullah. Bersama-sama, mereka membuka rekrutmen pendamping halal secara khusus.
Inisiatif ini bertujuan untuk wilayah Jakarta. Serapan kuota sertifikat halal di ibu kota masih di bawah 50 persen. Upaya ini diharapkan dapat memaksimalkan potensi yang ada dan mempercepat sertifikasi di Jakarta.
Di samping dukungan sertifikasi, HNW juga mengingatkan BPJPH. Pentingnya penegasan label ‘Non Halal’ sesuai Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Ini adalah wujud transparansi mutlak yang harus diterapkan.
Konsumen berhak sepenuhnya mengetahui status produk yang mereka beli. Informasi yang jelas akan menghindarkan keraguan dan kekeliruan. Ini adalah bagian integral dari perlindungan hak konsumen yang harus dijaga.
“Semua upaya ini demi melindungi dan memenuhi hak konsumen,” HNW menegaskan. Hak untuk secara bebas menentukan pilihan produk yang diinginkan. Baik itu produk halal sesuai syariat Islam, maupun produk non-halal.
“Agar semua jadi clear dan fair,” pungkasnya. Ia berharap tidak terulang lagi kasus kontroversial di masa lalu. Kasus seperti “Ayam goreng Widuran di Solo” harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak.
