ap – Washington DC kini menjadi medan ketegangan diplomatik. Amerika Serikat memperketat pintu masuk bagi warga Palestina. Bahkan, Presiden Palestina sendiri, Mahmoud Abbas, termasuk di antara yang terdampak.
Kebijakan ini menjadi pukulan telak. Hampir semua permohonan visa dari warga negara Palestina dilaporkan ditolak. Ini menciptakan hambatan besar bagi banyak individu.
Situasi ini terungkap menjelang Sidang Umum PBB. Sebuah laporan dari Reuters dan Al Arabiya pada Senin, 1 September 2025, membeberkan hal tersebut. Kebijakan ini diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.
Pemerintahan Trump telah mengambil langkah drastis. Mereka menolak dan mencabut visa untuk para pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Pejabat Otoritas Palestina yang berbasis di Tepi Barat juga terkena dampaknya.
Alasan di balik tindakan ini cukup jelas. Washington menganggap tindakan mereka “merusak prospek perdamaian”. Ini menjadi argumen utama di balik penolakan visa.
Dampak langsung terasa pada Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Ia kini tidak bisa memasuki AS. Perjalanan pentingnya menuju Sidang Umum PBB di New York terhambat.
Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS berbicara tanpa nama. Ia mengkonfirmasi dampak keputusan ini. Presiden Abbas dan sekitar 80 warga Palestina lainnya terdampak.
Keputusan ini diumumkan pada Jumat, 29 Agustus waktu setempat. Ini mengejutkan banyak pihak. Terutama bagi mereka yang memiliki rencana perjalanan ke AS.
Abbas sendiri telah merencanakan agenda padat. Ia dijadwalkan hadir dalam Sidang Umum PBB. Acara tahunan itu digelar pada bulan September ini.
Lebih dari itu, Abbas juga akan menghadiri pertemuan puncak. Pertemuan tersebut diselenggarakan oleh Prancis dan Arab Saudi. Ini adalah momen penting bagi diplomasi Palestina.
Dalam pertemuan itu, Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia berjanji. Mereka akan secara resmi mengakui negara Palestina. Keputusan AS ini mengganggu rencana tersebut.
Kantor Abbas segera menyatakan keterkejutannya. Mereka mengutuk keputusan AS. Penolakan dan pencabutan visa dianggap tidak bisa diterima.
Palestina menuduh keputusan Trump melanggar “perjanjian markas besar” PBB. Ini adalah argumen hukum yang kuat. Perjanjian tersebut mengatur akses diplomatik ke PBB.
Berdasarkan “perjanjian markas besar” PBB tahun 1947, AS memiliki kewajiban. Mereka harus mengizinkan akses diplomat asing. Akses tersebut menuju markas PBB di New York.
Namun, Washington memiliki dalih sendiri. Mereka menyatakan bisa menolak visa. Alasan yang digunakan adalah keamanan, ekstremisme, dan kebijakan luar negeri.
Departemen Luar Negeri AS membenarkan keputusannya. Mereka melontarkan kembali tuduhan lama. PLO dan Otoritas Palestina dianggap gagal menolak ekstremisme.
Washington juga menuding adanya upaya. Yaitu mendorong “pengakuan sepihak” atas negara Palestina. Ini dianggap merusak proses perdamaian.
“Ini demi kepentingan keamanan nasional kami,” sebut Departemen Luar Negeri AS. Mereka ingin meminta pertanggungjawaban PLO dan Otoritas Palestina. Ini terkait ketidakpatuhan terhadap komitmen.
AS berpendapat, tindakan PLO/PA merusak prospek perdamaian. Ini menjadi inti argumen mereka. Kebijakan visa ketat ini adalah konsekuensinya.
Para pejabat Palestina menolak tuduhan tersebut mentah-mentah. Mereka membantah klaim AS. Perundingan yang dimediasi AS selama puluhan tahun dianggap gagal.
Perundingan tersebut tidak mampu mengakhiri pendudukan Israel. Juga tidak berhasil mengamankan negara Palestina yang merdeka. Ini menjadi kritik balik dari Palestina.
Departemen Luar Negeri AS kembali membalas. Mereka menyatakan mendesak PLO dan Otoritas Palestina. Mereka harus “secara konsisten menolak terorisme.”
Serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 disebut secara spesifik. AS ingin PLO/PA mengutuknya. Ini menjadi salah satu poin penting AS.
Menanggapi hal ini, Abbas telah bertindak. Dalam surat kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Juni, ia mengecam serangan Hamas. Ia juga menyerukan pembebasan sandera.
Departemen Luar Negeri AS juga membuka peluang. Mereka mengatakan terbuka untuk kembali terlibat. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi.
“Jika Otoritas Palestina/PLO memenuhi kewajiban mereka,” kata AS. Mereka juga harus “secara nyata mengambil langkah konkret.” Langkah itu adalah kembali ke jalur kompromi konstruktif.
Juga diharapkan adanya hidup berdampingan secara damai dengan negara Israel. Ini adalah peta jalan yang ditawarkan Washington.
Meski ada pembatasan ketat, ada pengecualian. Misi Palestina untuk PBB akan terhindar dari pembatasan visa ini. Misi tersebut terdiri dari para pejabat permanen.
Para diplomat ini bermarkas tetap di sana. Mereka memiliki status khusus. Ini memastikan fungsi diplomatik di PBB tetap berjalan.
Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, turut bersuara. Ia menyatakan PBB akan membahas masalah visa ini. Pembahasan akan dilakukan dengan Departemen Luar Negeri AS.
Diskusi ini akan sesuai dengan perjanjian markas besar PBB. Perjanjian tersebut adalah antara PBB dan AS. PBB mencari solusi diplomatik.
Kritik juga datang dari Prancis. Menteri Luar Negeri (Menlu) Prancis Jean-Noel Barrot mengecam AS. Ia menolak visa pejabat Otoritas Palestina, termasuk Presiden Abbas.
Barrot menekankan pentingnya akses tanpa batas. Terutama untuk Sidang Majelis Umum PBB di New York. Acara ini dijadwalkan pada September.
“Pertemuan Sidang Umum PBB seharusnya tidak dikenakan pembatasan akses apa pun,” kata Barrot. Ia berbicara dalam pertemuan Menlu Uni Eropa di Denmark.
Sejumlah Menlu negara-negara Eropa lainnya menyuarakan seruan senada. Mereka menghadiri pertemuan di Copenhagen. Para Menlu tersebut meminta AS.
Mereka meminta AS untuk mengizinkan akses masuk. Terutama bagi delegasi Palestina. Ini menunjukkan konsensus Eropa yang menentang kebijakan AS.
AS tidak hanya menargetkan pejabat. Mereka juga menangguhkan persetujuan visa bagi hampir semua pemegang paspor Palestina. Ini adalah langkah yang sangat luas.
Kebijakan ini memperluas pembatasan visa. Sebelumnya, pembatasan hanya untuk pengunjung dari Jalur Gaza. Pemerintahan Trump sebelumnya telah mengumumkannya.
Media terkemuka AS, New York Times, melaporkan dampaknya. Kebijakan terbaru ini akan mencegah warga Palestina bepergian ke AS. Ini termasuk untuk perawatan medis dan kuliah.
Perjalanan bisnis juga terhambat. Untuk sementara waktu, banyak kegiatan penting terpaksa ditunda. Ini memengaruhi kehidupan sehari-hari warga Palestina.
Pembatasan besar-besaran ini diuraikan. Sebuah kabel Departemen Luar Negeri AS mengungkapkannya. Kabel itu dikirim ke misi-misi diplomatik AS di seluruh dunia.
Tanggal kabel tersebut adalah 18 Agustus lalu. Isinya jelas. Banyak warga Palestina dari Tepi Barat dan diaspora akan terhalang.
Mereka tidak akan bisa mendapatkan visa non-imigran. Ini mencakup banyak kategori perjalanan penting. Dampaknya sangat meluas.
Penangguhan visa bagi warga Palestina ini menyusul pembatasan sebelumnya. Dua pekan lalu, ada pengumuman serupa. Pembatasan visa ini telah dilakukan secara bertahap.
Saat itu, Departemen Luar Negeri AS mengatakan. Mereka menangguhkan semua visa kunjungan bagi individu dari Jalur Gaza. Ini dilakukan sembari peninjauan ‘sepenuhnya dan menyeluruh’.
Langkah tersebut menuai kecaman keras. Kelompok-kelompok pro-Palestina menyuarakan penolakan. Mereka menganggap kebijakan ini tidak adil.
Data bulanan yang tersedia pada situs resmi Departemen Luar Negeri AS menunjukkan. Washington sebelumnya telah mengeluarkan lebih dari 3.800 visa kunjungan B1/B2.
Visa ini memungkinkan warga negara asing untuk berobat di AS. Visa tersebut diberikan kepada para pemegang dokumen perjalanan Otoritas Palestina.
Angka tersebut mencakup 640 visa yang dirilis pada Mei lalu. Ini menunjukkan penurunan drastis. Kebijakan baru ini mengubah segalanya.
Langkah Washington memperketat visa bagi Palestina menandai babak baru. Ini adalah ketegangan dalam hubungan bilateral. Juga menimbulkan kekhawatiran global.
Di tengah seruan internasional, AS tetap teguh. Kebijakan ini tidak hanya menghambat diplomasi. Namun juga berdampak langsung pada kehidupan ribuan warga Palestina.
Masa depan akses dan mobilitas bagi warga Palestina ke AS kini penuh ketidakpastian. Dunia menunggu perkembangan selanjutnya.
