Kritik Pedas Muhammadiyah: KKN Akar Masalah Bangsa, Mendesak Prabowo Bertindak Tegas

10 Min Read

ap – Gelombang kemarahan rakyat tumpah ruah dalam berbagai aksi demonstrasi di sejumlah daerah Indonesia. Suara-suara protes itu menggema, menyerukan tuntutan perubahan yang mendasar. Fenomena ini tidak luput dari perhatian serius Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Ketua PP Muhammadiyah Bidang UMKM, Anwar Abbas, memberikan respons tajam. Ia menyoroti gelombang protes ini sebagai sinyal kuat. Sinyal bahwa ada kegelisahan mendalam di tengah masyarakat. Ini bukan sekadar riak-riak kecil, melainkan ekspresi akumulasi kekecewaan.

Anwar Abbas menegaskan inti dari kegelisahan yang disuarakan rakyat. Mereka, katanya, menginginkan pemerintah menghentikan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). KKN ini, menurutnya, adalah akar persoalan bangsa yang terus-menerus membelit.

Praktik KKN telah menjadi benalu. Benalu yang merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Masyarakat sudah muak dengan sistem yang dianggap membiarkan praktik-praktik tersebut terus berlangsung. Mereka menuntut keadilan dan transparansi dari para pemangku kekuasaan.

“Pak Prabowo ini apes, itu saja kesimpulan saya,” kata Anwar Abbas. Ia menyampaikan pandangannya yang lugas dalam program ‘Inside Politics’ CNN Indonesia TV, Selasa (2/9). Menurutnya, masalah KKN ini bukan baru terjadi saat ini.

Ini adalah penyakit kronis yang sudah menjangkiti birokrasi sejak lama. Sebuah warisan buruk yang terus dipertahankan. Anwar Abbas menyoroti betapa parahnya situasi ini. Ia menekankan bahwa ini adalah warisan masalah yang terus berlanjut dan memburuk.

Korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah menjadi hal yang luar biasa mengakar. Tidak hanya sekarang, tetapi sudah berlangsung sejak dahulu kala. Penyakit ini telah meracuni hampir setiap lini pemerintahan. Kondisi ini menciptakan ketidakpercayaan publik yang masif.

Lebih lanjut, Anwar Abbas mengutip pandangan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Mahfud MD pernah membuat perbandingan signifikan antara praktik korupsi pada masa Orde Baru dan era Reformasi. Perbandingan ini menunjukkan eskalasi serius masalah KKN.

Pada masa Orde Baru, korupsi umumnya terbatas di lembaga eksekutif. Demikian pandangan Mahfud MD yang diutarakan kembali oleh Anwar Abbas. Kekuasaan terpusat membatasi ruang gerak korupsi, meski dampaknya tetap masif.

Namun, situasi berubah drastis setelah Reformasi digulirkan. Anwar Abbas melanjutkan, korupsi justru merambah ke seluruh lembaga negara. Tidak hanya eksekutif, tetapi kini lembaga legislatif dan yudikatif ikut terjangkit praktik-praktik kotor itu.

Ini adalah sebuah ironi besar bagi Anwar Abbas dan banyak pihak lainnya. Reformasi, yang seharusnya membawa perbaikan dan pemberantasan KKN, justru menjadi panggung bagi penyebarannya. Sistem yang seharusnya menjadi pengawas justru ikut menjadi pelaku.

“Jadi, reformasi ini sudah membawa malapetaka menurut saya,” ujarnya dengan nada prihatin. Ia melihat bahwa di era Reformasi inilah KKN benar-benar berkembang biak. Penyakit sosial ini menjadi semakin merajalela. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi masa depan bangsa.

Transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto juga menjadi fokus pengamatan. Anwar Abbas mengamati bahwa pergantian rezim ini tidak serta-merta meredakan keresahan masyarakat. Justru, masalah inti KKN tetap sama dan terus muncul ke permukaan.

Ini menunjukkan bahwa keresahan utama masyarakat bukan sekadar soal pergantian pemimpin. Lebih dari itu, tuntutan mendasar adalah mengakhiri praktik KKN. Hal ini ditegaskan kembali oleh Anwar Abbas sebagai esensi dari setiap demonstrasi yang terjadi.

“Begitu terjadi pergantian rezim dari Pak Jokowi kepada Pak Prabowo, tiba-tiba meletus kayak seperti ini,” paparnya. Ledakan protes ini, menurutnya, adalah indikasi nyata bahwa masyarakat ingin melihat perubahan substansial. Mereka menuntut tindakan nyata, bukan hanya retorika.

Intinya, masyarakat mengeluhkan hal yang sama secara berulang-ulang. Mereka ingin KKN dihentikan tanpa kompromi. Ini adalah poin pertama yang sangat krusial dan mendesak untuk diwujudkan.

Pemerintah memang memberikan respons terhadap aksi demonstrasi yang terjadi. Salah satu bentuk responsnya adalah menyoroti kenaikan pangkat polisi yang terluka dalam aksi tersebut. Hal ini dianggap sebagai bentuk penghargaan terhadap aparat yang bertugas.

Namun, bagi Anwar Abbas, langkah seperti itu belum cukup. Ini belum menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. Kenaikan pangkat, meski penting bagi individu, tidak menyelesaikan masalah sistemik KKN yang menjadi penyebab utama keresahan.

Anwar Abbas menilai tindakan-tindakan pemerintah saat ini bersifat jangka pendek. Langkah tersebut tidak akan menyelesaikan masalah dalam jangka panjang maupun menengah. Ia melihat bahwa respons seperti itu tidak substansial. Itu hanya menyentuh permukaan.

“Kalau menurut saya ada tindakan-tindakan yang dibuat oleh pemerintah yang jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang tidak menyelesaikan masalah,” tegasnya. Anwar Abbas menekankan perlunya solusi yang lebih komprehensif. Solusi yang berani membongkar tatanan koruptif.

Ia terus terang saja melihat apa tuntutan sebenarnya dari masyarakat. Masyarakat, menurutnya, meminta agar KKN dihentikan tanpa kompromi. Ini adalah poin pertama yang sangat krusial dan mendesak untuk diwujudkan.

Permintaan kedua dari masyarakat adalah supaya hukum ditegakkan secara adil dan tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah harus segera diakhiri. Keadilan harus berlaku untuk semua lapisan masyarakat.

Selain isu hukum dan korupsi yang mengakar, Anwar Abbas juga menyoroti masalah lain yang tak kalah serius. Kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia semakin melebar, menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Kondisi ini menimbulkan keresahan tersendiri di tengah masyarakat.

Ia memberikan contoh nyata dari kesenjangan ini yang dampaknya terasa di seluruh negeri. Tingginya angka pencari kerja tidak sebanding sama sekali dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Ribuan bahkan jutaan lulusan baru terus berdatangan setiap tahun.

Namun, hanya sedikit dari mereka yang berhasil menembus pasar kerja. Banyak anak muda yang memiliki potensi besar justru kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan parah yang harus segera diatasi.

Anwar Abbas mengaku sangat terkejut dengan sebuah fakta yang diungkapkan Jusuf Kalla. Mantan Wakil Presiden itu pernah mengatakan bahwa perusahaannya membutuhkan sekitar 20 insinyur profesional. Namun, jumlah pelamar mencapai 23 ribu orang.

Angka ini sungguh mencengangkan dan menggambarkan besarnya masalah pengangguran terdidik. “Pencari kerja luar biasa, PHK juga luar biasa,” paparnya. Angka PHK yang tinggi memperparah keadaan. Banyak keluarga kehilangan mata pencarian.

Ini menunjukkan adanya masalah serius yang mendalam dalam dunia perekonomian. Sistem ekonomi saat ini belum mampu menyediakan kesejahteraan yang merata. Bahkan, cenderung menciptakan ketimpangan yang semakin menganga.

Selain itu, ada juga masalah fundamental dalam dunia pendidikan. Anwar Abbas mengindikasikan adanya ketidaksesuaian yang signifikan antara pendidikan dan dunia usaha. Pendidikan kita belum sepenuhnya menghasilkan lulusan yang siap pakai untuk industri.

Tidak ada “link and match” yang memadai. Kurikulum pendidikan belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dan tantangan pasar kerja yang dinamis. Akibatnya, banyak talenta muda yang terlatih namun menganggur. Ini adalah kerugian besar bagi potensi bangsa.

“Berarti antara dunia pendidikan kita dengan dunia usaha kita tidak nyambung,” ujarnya. Kesenjangan ini menciptakan dilema. Para pencari kerja kesulitan menemukan posisi yang sesuai, sementara perusahaan kesulitan menemukan tenaga kerja dengan kualifikasi tepat.

Oleh karena itu, bagi Anwar Abbas, semua permasalahan kompleks ini harus diselesaikan secara bersama-sama. Ini bukanlah tugas satu pihak saja. Seluruh elemen bangsa harus terlibat aktif dalam mencari solusi dan implementasinya secara terpadu.

Anwar menekankan pentingnya kerja sama yang sungguh-sungguh dan tanpa pamrih. Seluruh elemen bangsa harus bersinergi. Membangun bangsa tidak bisa hanya diserahkan kepada satu institusi saja. Ini adalah tanggung jawab kolektif yang berat.

Diperlukan sebuah sistem yang solid, terkoordinasi, dan berbasis integritas. Bangsa ini, kata Anwar, tidak bisa diurus hanya oleh pemerintah. Kekuatan pemerintah saja tidak akan cukup menghadapi tantangan sebesar ini.

Demikian pula, polisi tidak bisa sendirian mengurus semua permasalahan. Aparat penegak hukum memerlukan dukungan dari semua pihak. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga tidak bisa bekerja efektif tanpa dukungan dan pengawasan dari masyarakat.

Rakyat pun tidak bisa berjuang sendirian tanpa arah. Rakyat membutuhkan pemerintah yang kuat, bersih, dan responsif terhadap aspirasi. Rakyat membutuhkan DPR yang aspiratif, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan umum.

Rakyat juga memerlukan polisi yang profesional, adil dalam menegakkan hukum, serta bebas dari praktik KKN. Sinergi ini akan menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Ini adalah fondasi kuat untuk kemajuan berkelanjutan.

“Oleh karena itu, semua elemen bangsa ini harus bekerjasama dalam membangun negeri,” ujarnya. Sinergi antara rakyat, pemerintah, legislatif, dan aparat penegak hukum menjadi kunci utama. Tanpa kerja sama ini, cita-cita luhur bangsa sulit terwujud.

Tujuannya adalah agar Indonesia dapat menjadi negeri yang sesuai dengan harapan dan cita-cita luhur para pendiri bangsa. Negeri yang tidak hanya maju secara materi dan ekonomi, tetapi juga adil dalam segala aspek kehidupan.

Dan yang terpenting, negeri yang berakhlak mulia, berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila. Ini adalah visi yang diimpikan oleh Anwar Abbas dan seluruh komponen bangsa yang peduli terhadap masa depan Indonesia.

“Jadi maju, tapi juga tidak hanya sekedar maju, adil dan berakhlak,” pungkasnya. Pesan ini menjadi penutup yang sangat kuat. Ini adalah panggilan untuk bertindak, mewujudkan Indonesia yang lebih baik melalui kolaborasi dan integritas yang tak tergoyahkan.

Share This Article