Papua Barat di Ambang Krisis Ekologi: Tambang Emas Ilegal Menggerogoti Pegunungan Arfak

9 Min Read

ap – Praktik penambangan emas ilegal di Papua Barat telah mencapai titik kritis.
Ini bukan lagi sekadar penambangan tradisional. Metode dan praktiknya terstruktur dan masif.

Ancaman nyata membayangi ekosistem, kehidupan sosial, hingga potensi bencana ekologi.
Kerusakan lingkungan yang terjadi begitu parah dan meluas.

Tim gabungan melihat langsung dampak penambangan ini. Mereka menyusuri ratusan gubuk tambang.
Rumah-rumah liar itu berdiri di balik lebatnya hutan Pegunungan Arfak, Kabupaten Manokwari.

Pada 22 Agustus, tim CNN Indonesia bersama warga dan pejabat setempat tiba di lokasi.
Ada Kepala Distrik Masirawi, anggota DPR RI Yan Mandenas, dan Bupati Manokwari Hermus Indou.

Perjalanan menuju lokasi memakan waktu lima hingga enam jam. Jaraknya sekitar 60 kilometer dari Manokwari.
Medan yang ditempuh sangat berat, jalan terjal, berlumpur, dan terputus akibat longsor.

Ini adalah indikasi awal betapa masifnya kerusakan lingkungan. Aktivitas hulu telah menghancurkan banyak hal.
Di atas tanah yang seharusnya steril dari eksploitasi, ada banyak alat berat.

Jaringan logistik lengkap, bahkan koneksi internet Starlink, ditemukan di sana.
Ini menunjukkan skala operasi yang besar dan terorganisir.

Sejak lima hingga enam tahun terakhir, lokasi ini menjadi magnet penambang liar.
Mereka datang dari berbagai daerah, termasuk Sulawesi Utara dan Jawa.

Padahal, Manokwari adalah rumah bagi keanekaragaman hayati yang mewah di Indonesia.
Keresahan warga mendorong laporan kepada pemerintah pusat dan daerah.

Bupati Hermus Indou menjelaskan modus operandi para pemodal. Mereka memanfaatkan masyarakat adat.
“Para pemodal meyakinkan pemilik hak ulayat untuk izinkan tambang,” kata Hermus.

“Lalu membenturkan masyarakat dengan pemerintah. Alasannya, masyarakat butuh makan,” tambahnya.
Namun, menurut Hermus, banyak yang hanya memikirkan keuntungan pribadi, bukan keuntungan bersama.

Setibanya di lokasi, tepatnya sekitar aliran Sungai Wariori, pemandangan yang tersaji menyayat hati.
Tambang ilegal yang masih aktif menunjukkan puluhan gundukan puing batu setinggi bukit.

Ini menandakan penggunaan alat berat secara masif dan berkelanjutan.
Kepala Distrik Wasirawi, Simon Meidodga, membenarkan dugaan tersebut.

“Ini sudah lama, sudah lima sampai enam tahun lebih, orang-orang dari luar,” ujarnya.
“Mereka gali di sini banyak sekali pakai alat berat, mungkin ratusan ya,” tambah Simon.

Namun, pada siang itu, lokasi tambang tampak sepi. “Sepertinya semua pekerja sudah sembunyi,” katanya.
Mereka mungkin takut karena tahu aktivitas ini ilegal.

Kerusakan meluas. Lubang-lubang galian menganga lebar, membentuk danau-danau bekas tambang.
Bukit-bukit puing batuan menjulang di sekitarnya, pemandangan yang mengerikan.

Air berwarna hijau di dasar danau menandakan indikasi kuat penggunaan kimia berbahaya.
Ini menjadi ancaman serius bagi lingkungan dan kesehatan.

Di area ini, tim menemukan ratusan gubuk terpal. Gubuk-gubuk ini berkelompok.
Setiap gubuk menampung sekitar 10-12 orang pekerja tambang.

Perkampungan ilegal ini bahkan dilengkapi kios logistik layaknya pasar.
Kios-kios ini menjual sayur dan bahan pangan untuk para penambang.

Setiap transaksi dilakukan menggunakan butiran emas. Emas menjadi mata uang di sana.
Bahkan, menurut informasi warga, terindikasi adanya gubuk prostitusi di area terpencil ini.

Meskipun di tengah hutan belantara dengan kondisi serba terbatas, para penambang memiliki koneksi internet.
Fasilitas Wi-Fi ini didukung oleh sambungan Starlink.

Hal ini memperkuat dugaan adanya dukungan yang terorganisir dari pemodal besar.
Jaringan ini menunjukkan bahwa penambangan ilegal ini bukan operasi kecil.

Seorang penambang bernama Toto (bukan nama sebenarnya) mengungkap besarnya keuntungan.
Setiap kelompok bisa mendapatkan 500 gram hingga 1.000 gram (1 kilogram) emas setiap bulan.

“Dijualnya ke penadah sekitar Rp1,3 juta per gram,” ujar Toto.
Dengan harga jual rata-rata ini, satu kelompok bisa meraup Rp650 juta per bulan.

Angka ini didapat dari asumsi minimal 500 gram per kelompok per bulan.
Jika ada ratusan kelompok aktif, kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah.

Nilai emas yang keluar dari hutan ini juga sangat besar. Emas yang ditambang memiliki kadar kemurnian tinggi.
Kemurniannya mencapai 80-90% emas murni, menambah nilai kerugian yang luar biasa.

Aktivitas penambangan ilegal yang terstruktur dan masif ini tidak hanya merusak lingkungan.
Ini juga sangat merugikan rakyat Papua Barat secara langsung.

“Semua yang datang ke sini hanya bisa mencari dan mengambil keuntungan dari daerah ini,” kata Hermus Indou.
“Penambang emas mereka akan bawa. Semua hasil-hasil itu pergi,” tambahnya.

Penambangan ini tidak hanya ilegal dan liar. Ia juga sangat berisiko tinggi bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.
Penggunaan bahan-bahan kimia secara serampangan merusak kualitas air secara drastis.

Batang air Sungai Wariori dan Sungai Wasirawi menjadi sangat tercemar.
Kedua sungai ini sebenarnya digunakan untuk peningkatan produksi pertanian di hulu.

Terutama di Distrik Wasirawi dan Distrik Masni. Kini, air tersebut tidak bisa digunakan.
“Hari ini pertanian di dua distrik ini stagnan,” kata Hermus.

“Masyarakat tidak bisa melakukan aktivitas pertanian karena memang air yang digunakan dari sini sudah tercemar,” tambahnya.
“Jadi tidak bisa digunakan sama sekali.”

Pertanyaan besar muncul: mengapa penindakan sulit ditegakkan terhadap praktik ini?
Bupati Hermus Indou menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak.

Kekuatan penambang dinilai terlalu besar untuk ditangani sendiri oleh daerah.
“Kami di daerah tidak bisa berbuat banyak,” ujarnya.

“Kita butuh dukungan dari pusat dan dari aparat karena kalau tidak didukung penegakan dari aparat sia-sia semua,” kata Hermus.
Yan Mandenas juga menegaskan hal serupa tentang kesulitan penindakan.

Tidak berkutiknya level bupati hingga gubernur, menurutnya, karena keterlibatan oknum pejabat.
“Sehingga itulah yang membuat kepala-kepala daerah kita di Papua kadang-kadang tidak berdaya,” ujar Yan.

“Dan di Timika pun begitu, di Nabire pun begitu. Sampai KKB harus bantai penambang,” lanjutnya.
Ia menyebut kejadian ini akibat kecemburuan, hasil dari tidak ditatanya sistem penambangan.

Yan Mandenas juga menyebut bahwa persoalan ini sudah diketahui Menteri ESDM.
Bahkan, menurut laporan yang disampaikan Mandenas, Presiden Prabowo Subianto juga telah menginstruksikan penertiban.

Instruksi tersebut disampaikan dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR 2025.
Prabowo menyoroti seribu lebih titik tambang ilegal yang berpotensi merugikan negara hingga Rp300 triliun.

Kerusakan yang terjadi di Cagar Alam Pegunungan Arfak bukan hanya soal ‘landscape’ atau tata ruang.
Sungai Wariori mengalir sepanjang 30 kilometer dari pegunungan di perbatasan Manokwari dan Pegunungan Arfak.

Sungai ini bermuara di Pantai Mansaburi, Distrik Masni, lalu lepas ke Samudra Pasifik.
Wariori adalah sumber air utama bagi lebih dari 4.000 orang dan mengairi pertanian warga.

Potensi pencemaran bahan kimia, khususnya merkuri, menjadi hal kritis.
Ini mengancam area pertanian dan sumber air bersih setiap perkampungan di sepanjang sungai ini.

Praktik galian tambang terbuka dengan metode membongkar tanah di sekitar sungai sangat merusak.
Ditambah lagi metode ‘goa’ yang kedalamannya telah mencapai 30 meter. Ini adalah perusakan luar biasa.

Jika kerusakan terus dibiarkan, potensi bencana seperti banjir bandang, longsor, dan pencemaran air sangat besar.
Inilah yang disebut sebagai bom waktu ekologi di Papua Barat.

Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa praktik ini sering dimanipulasi sebagai ‘Tambang Rakyat’.
Padahal, pertambangan ini justru memanfaatkan rakyat untuk keuntungan sepihak.

Menanggapi desakan penindakan, Kapolda Papua Barat, Brigjen Polisi Johnny Edison Isir, menyatakan komitmennya.
Ia berkomitmen untuk melakukan penindakan tegas terhadap pelaku.

“Sebenarnya kemarin kita sudah kasih tindakan dan sudah ada yang ditangkap beberapa,” ujarnya.
“Ke depan kita komitmen akan tegas memberikan tindakan dan kami tidak mentolerir anggota kami jika terlibat.”

“Kami pastikan tidak ada yang terlibat. Kita akan segera mungkin langkahnya melakukan penertiban,” kata Kapolda.
“Jaringannya ini dari luar ada, sudah kita deteksi.”

Komitmen pemerintah pusat, daerah, dan aparat penegak hukum harus diikuti dengan aksi nyata.
Tanpa tindakan tegas yang menyasar pemodal dan aktor kekuasaan di balik pengerukan ini, kerusakan akan meluas.

Jantung Pegunungan Arfak akan semakin terkikis dan tak terkendali. Ini adalah panggilan darurat bagi semua pihak.

Share This Article