ap – Gubernur Bali, I Wayan Koster, mengambil langkah tegas. Ia mengumumkan pelarangan alih fungsi lahan produktif di Pulau Dewata. Kebijakan ini akan mulai berlaku efektif pada tahun 2025. Tujuannya jelas, mencegah terulangnya banjir besar.
Keputusan vital ini lahir setelah serangkaian diskusi mendalam. Gubernur Koster menggelar rapat penting di Denpasar. Bersamanya hadir Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurrofiq. Pertemuan berlangsung pada Sabtu malam, 13 September. Fokus utama adalah penanganan banjir yang baru saja melanda.
“Mulai tahun ini, sesuai dengan haluan 100 tahun Bali, sudah tidak boleh lagi ada alih fungsi lahan produktif,” tegas Koster. Ia menambahkan, lahan-lahan itu dilarang beralih fungsi menjadi fasilitas komersial. Pernyataan ini menandai era baru pembangunan Bali.
Koster secara spesifik menyebutkan jenis-jenis fasilitas yang dimaksud. Hotel, vila, dan restoran adalah beberapa di antaranya. Semua pembangunan komersial semacam itu akan masuk dalam moratorium. Peraturan daerah (perda) terkait moratorium ini akan segera dirampungkan. Penerapannya dimulai pada tahun 2025.
Langkah persiapan sudah dilakukan jauh-jauh hari. Gubernur telah memberikan instruksi langsung. Seluruh bupati dan wali kota se-Bali diminta bertindak. Mereka tidak boleh lagi mengeluarkan izin baru. Izin pembangunan yang menggunakan lahan produktif, apalagi sawah, akan ditahan.
Penekanan pada lahan produktif sangat kuat. Koster ingin memastikan kelestarian alam Bali terjaga. “Setelah penanganan banjir ini, kita akan kumpul lagi,” ujarnya. Pertemuan itu bertujuan menguatkan komitmen tidak lagi memberi izin. Ini untuk fasilitas yang mengokupasi lahan subur.
Bagaimana dengan pembangunan perumahan? Koster menjelaskan aturannya berbeda. “Perumahan itu sangat selektif,” katanya. Izin akan diberikan secara sangat hati-hati. Kecuali jika lahan tersebut memang milik warga sendiri untuk tempat tinggal.
Keputusan ini bukanlah tanpa alasan kuat. Bali baru saja dihantam bencana alam hebat. Banjir parah melanda sejumlah daerah di pulau ini. Musibah terjadi pada Rabu, 10 September lalu. Hujan deras menjadi pemicu utama.
Dampak banjir sangat menghancurkan. Banyak infrastruktur rusak dan rumah terendam. Tragisnya, nyawa manusia juga menjadi korban. Hingga saat ini, proses pencarian korban hilang masih terus berlanjut. Tim penyelamat bekerja tanpa henti.
Data dari BPBD Bali menunjukkan angka yang memilukan. Sebanyak 17 orang meninggal dunia akibat banjir tersebut. Ini adalah pukulan telak bagi masyarakat Bali. Angka kematian tersebar di beberapa wilayah.
Denpasar mencatat korban terbanyak, yaitu 11 orang. Disusul Kabupaten Gianyar dengan 3 orang meninggal. Lalu, 2 orang di Kabupaten Jembrana. Terakhir, 1 korban jiwa ditemukan di Kabupaten Badung. Setiap angka adalah cerita duka mendalam.
Menyikapi situasi darurat ini, Pemerintah Provinsi Bali bertindak cepat. Status tanggap darurat bencana telah ditetapkan. Status ini berlaku selama satu minggu penuh. Ini menunjukkan keseriusan dalam penanganan dampak musibah.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurrofiq turut menyoroti akar masalahnya. Menurutnya, alih fungsi lahan adalah faktor kunci. Perubahan penggunaan lahan berkontribusi besar terhadap banjir ini. Ia mengungkapkan keprihatinannya.
Hanif secara spesifik menunjuk kawasan pegunungan Bali. Terutama area di sekitar Gunung Batur, Kabupaten Bangli. Wilayah ini memiliki tutupan hutan yang sangat minim. Angkanya bahkan kurang dari 4 persen.
“Jadi dari 49 ribu hektare daerah aliran sungainya, yang ada tutupannya kurang dari 1.200 [hektare],” jelas Hanif. Angka ini sangat kecil, katanya. Ini menunjukkan deforestasi yang parah. Kondisi ini jelas memperparah risiko banjir.
Pernyataan Hanif menegaskan urgensi kebijakan Koster. Kurangnya tutupan hutan mengurangi kemampuan tanah menyerap air. Akibatnya, saat hujan deras, air langsung mengalir deras. Ini menyebabkan luapan dan banjir bandang.
Larangan alih fungsi lahan produktif bukan sekadar regulasi baru. Ini adalah bagian dari visi jangka panjang. Gubernur Koster ingin Bali tetap lestari. “Haluan 100 tahun Bali” adalah panduan komprehensif. Ini menjamin pembangunan yang berkelanjutan.
Pembangunan di Bali seringkali dihadapkan pada dilema. Antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Kebijakan ini menandai pergeseran prioritas. Lingkungan dan keberlanjutan kini menjadi fondasi utama. Ini demi masa depan pulau.
Keputusan ini juga mencerminkan pembelajaran dari krisis. Bencana banjir baru-baru ini menjadi pengingat pahit. Bahwa eksploitasi lahan berlebihan memiliki konsekuensi serius. Alam akan selalu menuntut balas jika tidak dijaga.
Koster yakin, langkah ini akan membawa dampak positif. Kelestarian sawah dan lahan hijau lainnya akan terjamin. Mereka adalah paru-paru pulau dan sumber kehidupan. Melestarikan mereka berarti melindungi Bali secara keseluruhan.
Dengan moratorium ini, harapan baru muncul. Bali bisa kembali menemukan keseimbangannya. Antara pariwisata yang maju dan lingkungan yang terjaga. Ini adalah komitmen untuk warisan budaya dan alam yang tak ternilai.
Sosialisasi dan pengawasan ketat akan menjadi kunci. Pemerintah provinsi dan daerah harus bekerja sama erat. Memastikan setiap poin perda diterapkan dengan benar. Tanpa kompromi, demi masa depan Bali.
Alih fungsi lahan telah lama menjadi isu krusial. Banyak pihak menyoroti dampaknya terhadap ekosistem. Kini, pemerintah daerah mengambil tindakan konkret. Ini adalah respons proaktif terhadap tantangan lingkungan.
Bukan hanya tentang mencegah banjir. Ini juga tentang menjaga ketahanan pangan Bali. Lahan produktif, terutama sawah, adalah penopang utama. Melindungi mereka berarti melindungi kemandirian pangan lokal.
Masyarakat Bali diharapkan mendukung penuh kebijakan ini. Kolaborasi semua pihak sangat dibutuhkan. Untuk mewujudkan Bali yang hijau, aman, dan berkelanjutan. Warisan untuk generasi mendatang.
Keputusan tegas Gubernur Koster ini patut diapresiasi. Ini menunjukkan keberanian mengambil langkah sulit. Namun sangat diperlukan untuk masa depan Pulau Dewata. Masa depan yang lebih hijau dan lebih aman.
Dengan komitmen ini, Bali mengirimkan pesan penting. Pesan tentang pentingnya menjaga harmoni dengan alam. Bahwa pembangunan harus selaras dengan kelestarian lingkungan. Demi keberlangsungan ekosistem yang rapuh ini.
Ini adalah awal dari perjalanan panjang. Perjalanan menuju Bali yang benar-benar lestari. Di mana setiap pembangunan dipertimbangkan matang. Dampaknya terhadap alam dan masyarakat menjadi prioritas utama.
Tahun 2025 akan menjadi tonggak sejarah baru. Ketika larangan alih fungsi lahan produktif resmi berlaku. Ini adalah janji untuk menjaga keindahan dan keberlanjutan Bali. Sebuah janji yang ditorehkan di atas tanah.
Langkah-langkah strategis ini akan terus dikaji. Penyesuaian mungkin diperlukan seiring waktu. Namun, arahnya sudah jelas. Bali akan menjadi pelopor dalam pembangunan berkelanjutan. Sebuah model bagi daerah lain.
Perlindungan lingkungan bukan lagi pilihan. Ia adalah keharusan mutlak. Terutama bagi pulau yang mengandalkan keindahan alamnya. Untuk menarik wisatawan dan menopang kehidupan warganya.
Kesadaran akan pentingnya tutupan hutan juga meningkat. Setelah bencana banjir, masyarakat lebih memahami. Bahwa hutan adalah benteng alami terpenting. Melindungi dari erosi dan banjir.
Gubernur Koster secara konsisten mengemban misi ini. Misi untuk menjaga kesucian dan keharmonisan Bali. Melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak pada alam. Serta masyarakat adat yang menghormatinya.
Pemerintah daerah tidak akan tinggal diam. Setelah rapat bersama Menteri LH, komitmen diperbarui. Semua pihak bertekad mewujudkan Bali yang tangguh. Tangguh terhadap ancaman bencana alam.
Ini adalah seruan bagi semua. Untuk bersama-sama menjaga alam Bali. Agar keindahan dan kesuburannya tetap lestari. Untuk dinikmati oleh anak cucu kita. Dan menjadi inspirasi dunia.
