Menjelajahi Tanah Perawan: Perjalanan Panjang Menuju Kongres Pemimpin Agama Dunia di Kazakhstan

8 Min Read

ap – Tiga bandara, dua negara, 16 jam di udara. Sebuah gambaran nyata perjalanan yang ditempuh dari Indonesia menuju Kazakhstan. Negara yang juga sering disebut sebagai Virgin Land, atau Tanah Perawan.

Sebutan Tanah Perawan ini merujuk pada beberapa wilayah di Kazakhstan yang masih perawan. Belum terjamah oleh tangan manusia sama sekali. Sebagian besar wilayah Kazakhstan berbatasan langsung dengan Rusia di utara dan barat.

Di sebelah timur, negara pecahan Uni Soviet ini juga berbatasan langsung dengan China. Wilayahnya yang luas menjadikan Kazakhstan sebagai negara yang memiliki lanskap beragam, dari padang rumput hingga pegunungan.

Jurnalis detikcom berkesempatan terbang ke Kazakhstan. Perjalanan ini memenuhi undangan liputan VIII Congress of Leaders of World and Traditional Religions. Acara bergengsi itu digelar di Astana, ibu kota Kazakhstan, pada 16-19 September.

Kongres akbar ini merupakan gelaran yang dilaksanakan setiap tiga tahun sekali. Ajang ini mempertemukan para pemuka agama dan tokoh politik berpengaruh dari seluruh dunia. Sebuah forum penting untuk dialog dan pemahaman.

Perjalanan detikcom dimulai dari Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), Tangerang. Tepatnya pada Senin, 15 September 2025 dini hari. Jadwal penerbangan tertera pukul 01.45 WIB.

Suasana di Terminal 3 Bandara Soetta sudah tampak ramai sejak Minggu, 14 September. Mayoritas penumpang yang terlihat di terminal itu adalah para jemaah yang akan pergi ke Mekkah. Banyak juga warga negara China terlihat hilir mudik.

Tepat pukul 01.45 WIB, pesawat Air China yang membawa jurnalis detikcom lepas landas. Menembus keheningan malam, pesawat membawa ratusan penumpang menuju Bandara Beijing. Penerbangan ini dijadwalkan mendarat pada pukul 10.00 WIB.

Setelah menempuh perjalanan udara selama 8 jam 15 menit, pesawat tiba di Beijing. Pendaratan tepat waktu di Beijing International Airport adalah pukul 10.00 waktu lokal. Itu berarti pukul 09.00 WIB waktu Jakarta.

Pemeriksaan di Imigrasi China menjadi satu kewajiban. Hal ini harus dilakukan setiap penumpang usai mendarat di Negeri Tirai Bambu tersebut. Proses yang lumayan memakan waktu.

Setelah proses imigrasi rampung, perjalanan dilanjutkan. Rute penerbangan berikutnya membawa kami menuju Bandara Xian Xianyang, China. Ini adalah transit kedua dalam perjalanan panjang ini.

Rute penerbangan yang diambil memang cukup panjang dan berliku. Dari Jakarta, lalu ke Beijing, kemudian ke Xian Xianyang, sebelum akhirnya tiba di Astana. Sebuah maraton udara yang menguras tenaga.

Sebagai informasi penting, ada peraturan baru saat akan melewati imigrasi China untuk penerbangan domestik. Terhitung Juni 2025, China melarang penumpang membawa powerbank tanpa sertifikat China Compulsory Certification (CCC).

Sertifikat CCC ini harus tertera pada powerbank. Aturan ketat ini tidak berlaku untuk penerbangan internasional di China. Namun, sangat penting bagi penerbangan domestik, memastikan standar keselamatan terpenuhi.

Pesawat yang membawa jurnalis detikcom kemudian tiba di Bandara Xian Xianyang. Pendaratan tepat pukul 16.00 waktu China. Perjalanan dari Beijing membutuhkan waktu dua jam di udara.

Empat jam berselang setelah mendarat di Xian, detikcom melanjutkan penerbangan. Kali ini dari Bandara Xian Xianyang langsung menuju Astana, ibu kota Kazakhstan. Tujuan akhir semakin dekat.

Penerbangan terakhir ini mulai lepas landas sekitar pukul 19.50 waktu China. Penumpang sudah tidak sabar untuk segera tiba di destinasi. Harapan akan pendaratan yang lancar menyelimuti.

Butuh waktu lima jam penuh di udara untuk akhirnya sampai di Bandara Internasional Nursultan Nazarbayev, Astana. Saat 30 menit pesawat mendarat, jam di gawai menunjukkan pukul 01.15 dini hari, merujuk pada waktu di China.

Namun, begitu kami keluar dari pesawat, waktu di Astana menunjukkan pukul 22.15. Sebuah perbedaan zona waktu yang signifikan. Ini menandakan bahwa perjalanan melintasi beberapa meridian.

Setelah melewati pemeriksaan ketat di border control, sambutan yang dingin langsung terasa. Suhu 10 derajat Celcius di Astana langsung menyergap. Bukan dingin yang menusuk tulang, namun suhu seperti ini jarang dirasakan di Jakarta yang tropis.

Perjalanan menuju hotel tempat menginap dilalui dengan lancar. Jalanan di Astana saat menjelang tengah malam tampak sepi. Hanya beberapa pejalan kaki yang menyusuri trotoar.

Budaya tertib lalu lintas di kota ini juga terbilang tinggi. Sepanjang 30 menit perjalanan ke hotel dari bandara, setiap pengendara mematuhi aturan lampu lalu lintas. Mereka berkendara dengan kecepatan yang normal dan teratur.

Total 16 jam perjalanan di udara telah ditempuh dari Indonesia untuk bisa sampai di Astana, Kazakhstan. Semua melalui rute penerbangan yang melibatkan transit di China. Sebuah pengalaman yang melelahkan namun berkesan.

Saat waktu di Astana menunjukkan pukul 23.30, waktu di Jakarta telah berganti hari. Saat itu adalah Selasa, 16 September, pukul 01.30 WIB. Perjalanan panjang telah usai, kini saatnya fokus pada liputan.

VIII Congress of Leaders of World and Traditional Religions menjadi sorotan utama. Dalam gelaran kedelapannya tahun ini, sesi pleno kongres mengusung tema penting. Temanya adalah ‘Dialogue of Religions: Synergy for the Future’.

Tema ini dipilih dengan tujuan spesifik. Untuk menjawab sejumlah masalah umat manusia yang terjadi belakangan ini. Mulai dari ketegangan geopolitik global, konflik bersenjata, hingga perubahan iklim yang mengancam.

Tidak hanya itu, pandemi yang telah melanda dunia dan perang dagang yang merugikan juga menjadi latar belakang. Semua isu ini membutuhkan solusi yang berkelanjutan dan kerja sama antaragama.

Tema besar itu kemudian akan dibagi ke dalam empat sesi subtema kunci. Ini memungkinkan pembahasan yang lebih mendalam dan terfokus. Setiap subtema menawarkan perspektif unik.

Keempat sesi itu adalah ‘The Role of Religion in Consolidating Humanity in the 21st Century’, membahas peran vital agama. Lalu ‘Religions as a Factor in Sustainable World Development’, menyoroti kontribusi agama bagi pembangunan berkelanjutan.

Subtema berikutnya adalah ‘Spritual Values in the Age of Digital Reality and Artificial Intelligence’, yang mengkaji nilai-nilai spiritual di era modern. Terakhir, ‘Faith Against Extremism: The Peacebuilding Potential of Religions’, menekankan peran agama dalam perdamaian.

Kongres tahun ini juga akan menggelar sesi khusus. Sesi ini berfokus pada upaya perlindungan terhadap situs-situs keagamaan yang rentan. Sebuah inisiatif penting di tengah konflik global.

Sesi ini bertujuan untuk menyoroti pentingnya perlindungan tempat-tempat keagamaan. Serta memperkuat kerja sama dan komitmen dari berbagai pihak. Mulai dari negara, organisasi internasional, lembaga keagamaan, hingga masyarakat sipil.

Semua pihak diharapkan dapat bekerja sama dalam mengatasi masalah perlindungan situs keagamaan. Kolaborasi ini krusial untuk menjaga warisan budaya dan spiritual umat manusia.

Sidang pleno VIII Congress of Leaders of World and Traditional Religions akan dipimpin oleh tokoh-tokoh penting. Salah satunya adalah Wakil Sekretaris Jenderal PBB, Miguel Angel.

Miguel Angel juga tercatat sebagai Perwakilan Tinggi untuk Aliansi Peradaban PBB. Ia juga menjabat sebagai Utusan Khusus PBB untuk memerangi Islamofobia. Perannya sangat sentral dalam memfasilitasi dialog.

Sidang pleno juga akan dipimpin oleh Ketua Senat Parlemen Republik Kazakhstan, Maulen Ashimbayev. Maulen juga memegang posisi sebagai Kepala Sekretariat Congress of Leaders of World and Traditional Religions. Sebuah kehormatan bagi Kazakhstan menjadi tuan rumah acara global ini.

Kehadiran jurnalis detikcom di Astana diharapkan mampu memberikan laporan yang komprehensif. Mengupas tuntas setiap sesi dan isu yang dibahas. Menghadirkan perspektif dari ajang dialog lintas agama paling penting di dunia.

Share This Article