KPU Rahasiakan Dokumen Capres-Cawapres: Perludem Soroti Pelanggaran Transparansi Pemilu

8 Min Read

ap – Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Nomor 731 Tahun 2025 menuai sorotan tajam dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). KPU merahasiakan 16 dokumen syarat pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Tindakan ini dinilai melanggar prinsip dasar keterbukaan dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemilu.

Peneliti Perludem, Haykal, dengan tegas menyatakan keberatannya. “Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 ini telah melanggar prinsip terbuka dan akuntabel dalam penyelenggaraan Pemilu,” ujarnya melalui pesan tertulis pada Selasa (16/9). Pernyataan ini menegaskan kekhawatiran serius terhadap integritas proses demokrasi.

Haykal menjelaskan bahwa keputusan tersebut menghilangkan akses publik terhadap informasi vital kandidat. Pemilih kehilangan kesempatan fundamental untuk mengetahui dan mengenal calon pemimpin dengan pasti. Ini secara langsung mengganggu hak masyarakat untuk membuat pilihan yang terinformasi dan bertanggung jawab.

Lebih lanjut, Haykal menyebut pengecualian yang dilakukan KPU tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ia merujuk pada Pasal 2 ayat (2) dan ayat (4) undang-undang yang mengharuskan pengecualian dilakukan secara ketat. Selain itu, pengecualian harus selalu mempertimbangkan kepentingan publik yang lebih luas.

Uji konsekuensi yang KPU laksanakan juga menjadi sorotan. Menurut Haykal, proses ini terasa seperti ‘alat’ untuk membenarkan tindakan KPU dalam menutupi informasi. Alih-alih memastikan transparansi, uji konsekuensi justru dipersepsikan sebagai instrumen pembenaran kerahasiaan.

Perludem menilai KPU salah menafsirkan Undang-undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Haykal mengatakan banyak jenis data yang dirahasiakan seharusnya dapat dibuka ke publik. KPU dinilai tidak memahami secara utuh dimensi kepentingan publik yang melekat pada informasi tersebut.

Setiap informasi mengenai kandidat calon presiden dan wakil presiden pada prinsipnya adalah informasi publik. Hal ini ditegaskan Haykal karena informasi tersebut berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat. Publik perlu menilai dan memilih, serta informasi ini memiliki dimensi pengisian jabatan publik yang krusial.

Oleh karena itu, prinsip-prinsip pelindungan data pribadi yang berlaku pada orang perorangan warga negara seharusnya dikecualikan. Pengecualian ini diberlakukan demi kepentingan publik yang luas dan lebih besar. Transparansi bagi calon pejabat publik adalah bagian tak terpisahkan dari akuntabilitas mereka.

Sebelum polemik ini mencuat, KPU mengeluarkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025. Keputusan ini secara spesifik mengatur penetapan dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dokumen-dokumen tersebut dikategorikan sebagai informasi publik yang dikecualikan oleh KPU.

Total ada 16 dokumen syarat pendaftaran capres dan cawapres yang masuk daftar ini. Informasi tersebut tidak bisa dibuka untuk publik tanpa persetujuan dari pihak terkait. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai tingkat transparansi yang ingin dicapai dalam proses pemilihan umum.

Menanggapi kritik, Ketua KPU Afifuddin memberikan penjelasannya. Ia menuturkan ketentuan tersebut hanyalah penyesuaian terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). UU KIP, kata Afifuddin, menyebutkan bahwa data-data pribadi hanya bisa diakses atas persetujuan pemiliknya.

“Jadi, pada intinya kami hanya menyesuaikan pada dokumen-dokumen tertentu yang ada dalam tanda kutip aturan untuk dijaga kerahasiaannya, misalnya berkaitan dengan rekam medis,” kata Afifuddin pada Senin (15/9). KPU berusaha memposisikan diri sebagai institusi yang patuh pada regulasi perlindungan data.

Belasan dokumen yang dimaksud sangatlah beragam dan krusial. Di antaranya adalah e-KTP dan akta kelahiran, serta Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Dokumen lain yang dirahasiakan meliputi surat keterangan kesehatan dari rumah sakit pemerintah yang ditunjuk KPU.

Tidak hanya itu, daftar riwayat hidup, profil singkat, dan rekam jejak setiap bakal calon juga tidak bisa diakses publik. Bahkan, ijazah pendidikan hingga Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) masuk dalam daftar informasi yang dikecualikan. Padahal, dokumen-dokumen ini fundamental untuk menilai kredibilitas.

Kerahasiaan dokumen ini berpotensi besar mengurangi kualitas informasi yang diterima pemilih. Masyarakat akan kesulitan membuat keputusan yang paling tepat tanpa data lengkap tentang latar belakang, kesehatan, atau rekam jejak finansial kandidat. Hal ini bisa berdampak pada partisipasi publik yang kurang informed.

Prinsip keterbukaan adalah fondasi utama dari setiap proses demokrasi yang sehat. Ketika informasi vital ditutup-tutupi, hal itu dapat menimbulkan kecurigaan dan mengikis kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu. Akuntabilitas KPU sebagai lembaga independen pun bisa dipertanyakan.

Terdapat ketegangan inheren antara hak privasi individu dan kepentingan publik dalam konteks jabatan publik. Namun, untuk seorang calon pemimpin negara, batas antara keduanya seringkali berbeda. Informasi yang relevan dengan integritas dan kemampuan menjalankan tugas publik seharusnya dapat diakses.

Kasus ini menyoroti perlunya keseimbangan yang cermat antara perlindungan data pribadi dan transparansi. KPU harus secara bijaksana menimbang prioritas ini, memastikan bahwa kepentingan publik untuk memilih secara cerdas tidak terabaikan demi interpretasi yang ketat terhadap privasi.

Perludem mendesak KPU untuk mengevaluasi kembali keputusan kontroversial ini. Demokrasi yang matang memerlukan partisipasi publik yang informatif dan transparan. Keputusan merahasikan dokumen-dokumen penting justru menghambat terwujudnya tujuan mulia tersebut.

Polemik ini bukan sekadar tentang daftar 16 dokumen. Ini adalah pertarungan fundamental mengenai prinsip-prinsip dasar demokrasi di Indonesia. Bagaimana institusi negara menafsirkan dan menerapkan undang-undang terkait keterbukaan informasi.

Masyarakat berhak mendapatkan penjelasan yang lebih komprehensif dari KPU. Diperlukan dialog terbuka untuk mencari titik temu yang menghormati kedua belah pihak. Tujuannya adalah untuk menjaga integritas pemilu dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.

Kerahasiaan informasi kandidat dalam pemilihan umum adalah isu yang serius. Ini dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap keadilan dan kejujuran proses politik. Sebuah demokrasi yang kuat dibangun di atas fondasi transparansi yang kokoh dan akses informasi yang tidak terbatas.

KPU memiliki peran sentral dalam memastikan pemilu berjalan adil dan terbuka. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diambil harus mempertimbangkan implikasi luasnya terhadap partisipasi publik. Pemilih yang berpengetahuan adalah aset terbesar bagi bangsa.

Masa depan pemilu yang transparan dan akuntabel di Indonesia sangat bergantung pada bagaimana isu-isu seperti ini ditangani. Menciptakan mekanisme yang jelas untuk menyeimbangkan privasi dengan kebutuhan publik adalah tantangan yang harus diatasi bersama.

Penegasan kembali prinsip bahwa informasi mengenai calon pejabat publik adalah milik publik sangat penting. Ini demi memastikan bahwa setiap warga negara dapat sepenuhnya berpartisipasi. Partisipasi ini bukan hanya melalui hak pilih, tetapi juga melalui pengawasan yang efektif.

Akhirnya, polemik ini menunjukkan kompleksitas dalam mengimplementasikan undang-undang di lapangan. Khususnya ketika berhadapan dengan kepentingan yang bertabrakan. Menciptakan pemilu yang benar-benar demokratis membutuhkan komitmen berkelanjutan terhadap prinsip-prinsip inti.

Ini termasuk keterbukaan, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak-hak pemilih untuk mendapatkan informasi yang memadai. Perludem terus menyerukan KPU untuk mempertimbangkan kembali langkahnya. Demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik.

Share This Article