Donasi Banjir Bali: Antara Gotong Royong dan Pertanyaan Sukarela

5 Min Read

ap – Para guru dan staf sekolah di Bali menghadapi instruksi tak biasa. Mereka diminta menyumbang untuk korban banjir. Sumbangan ini mencakup aparatur sipil negara (ASN) hingga non-ASN.

Nilai donasi yang diminta tidak main-main. Besaran nominalnya bervariasi. Mulai dari Rp 100 ribu untuk staf golongan I. Hingga mencapai Rp 1,25 juta bagi kepala sekolah.

Instruksi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Terutama karena tidak ada surat resmi. Tidak ada surat keputusan (SK) atau surat edaran. Semua disampaikan secara lisan.

Informasi ini awalnya beredar di kalangan pendidik. Banyak yang bertanya-tanya. Bagaimana dasar hukum instruksi tersebut? Mengapa tidak ada dokumen tertulis?

Kepala SMAN 4 Denpasar, I Made Sudana, membenarkan instruksi itu. Sudana tidak menyangkal informasi yang beredar. Ia mengakui adanya permintaan donasi.

Menurut Sudana, instruksi berasal dari rapat. Rapat tersebut dihadiri Ketua MKKS. Pertemuan berlangsung di Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disdikpora) Bali.

“Oh, *nggih,* benar, itu hasil rapat di dinas kemarin,” kata Sudana. Pernyataan ini dilansir oleh **detikBali**. Rapat tersebut memutuskan besaran donasi.

Terpisah, Gubernur Bali Wayan Koster angkat bicara. Koster menjelaskan duduk perkara donasi. Ia menyebutnya sebagai dana gotong royong. Ini bersifat sukarela.

Koster memberikan contoh instansi lain. Banyak yang juga membantu korban bencana. Donasi mereka juga bervariasi. Sesuai kemampuan masing-masing.

“Itu inisiatif, kegotongroyongan,” ujar Koster. Ia menambahkan, bencana mungkin akan sering terjadi. Musim hujan di Bali akan berlangsung panjang. Hingga Februari tahun depan.

Koster menegaskan, donasi bersifat sukarela. Tidak ada paksaan di dalamnya. Ini adalah bentuk kepedulian bersama. Terhadap sesama yang tertimpa musibah.

Penentuan nilai nominal donasi dianggap wajar oleh Koster. Menurutnya, pendapatan setiap pegawai berbeda. Gaji disesuaikan dengan golongan.

“Wajar dong, karena ada yang hasilnya banyak, kepala dinas,” jelas Koster. Ia bahkan menyebut bisa menyumbang Rp 50 juta. Jika ada kerelaan hati.

Gubernur Koster menekankan, donasi tidak wajib. Pegawai boleh menyetor tidak sesuai nominal. Bahkan tidak menyetor pun tidak menjadi masalah.

“Kalau nggak segitu juga tidak apa-apa. Nggak juga nggak masalah,” tegas Koster. Ini untuk memastikan tidak ada beban. Bagi mereka yang kurang mampu.

Meskipun demikian, instruksi lisan kerap menimbulkan dilema. Ada kekhawatiran mengenai implikasi tersirat. Apakah ada tekanan moral di baliknya?

Bagi sebagian pihak, nominal yang dipatok terasa mengikat. Walau disebut sukarela. Adanya angka spesifik dapat membentuk ekspektasi.

Pentingnya komunikasi yang transparan menjadi sorotan. Ketiadaan surat resmi membuat interpretasi bervariasi. Ini bisa berujung pada kesalahpahaman.

Di sisi lain, semangat gotong royong adalah tradisi kuat di Indonesia. Terutama saat menghadapi bencana. Solidaritas seringkali muncul spontan.

Pemerintah daerah seringkali mengandalkan partisipasi masyarakat. Termasuk dari kalangan ASN. Untuk membantu meringankan beban korban bencana.

Bali sendiri sering dilanda bencana alam. Mulai dari banjir hingga tanah longsor. Ini menuntut kesiapsiagaan dari berbagai pihak. Termasuk sekolah.

Donasi dari guru dan staf sekolah ini diharapkan. Dapat membantu para korban. Mereka yang kehilangan harta benda. Atau terdampak langsung banjir.

Model donasi semacam ini bukan hal baru. Di berbagai daerah lain juga terjadi. Inisiatif serupa seringkali muncul. Untuk tujuan kemanusiaan.

Namun, cara penyampaian instruksi menjadi kunci. Komunikasi yang jelas dan tertulis. Akan meminimalisir interpretasi ganda. Serta membangun kepercayaan.

Tidak adanya SK atau surat edaran. Adalah poin penting dalam kasus ini. Hal itu dipertanyakan oleh publik. Terutama soal akuntabilitas.

Gubernur Koster punya pandangan lain. “Nggak perlu SK, *ngapain* ribet,” katanya. Baginya, ini murni kepedulian kemanusiaan. Tidak perlu birokrasi.

Ia mencontohkan OJK dan BPD. Instansi tersebut juga memberi bantuan. Tanpa SK atau permintaan resmi. Semua berdasarkan inisiatif.

Pernyataan gubernur ini meredakan sebagian kekhawatiran. Bahwa donasi memang tidak bersifat wajib. Namun, ada yang tetap merasa dilematis.

Terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Besaran nominal yang disebutkan. Meski disebut sukarela. Tetap terasa memberatkan.

Perdebatan ini mencerminkan dinamika sosial. Antara panggilan moral membantu. Dengan hak individu untuk menentukan sumbangan. Tanpa tekanan.

Pada akhirnya, donasi ini adalah cerminan. Dari semangat kebersamaan. Yang berusaha dibangun oleh pemerintah daerah. Saat menghadapi krisis.

Baik guru ASN maupun non-ASN. Serta staf sekolah di Bali. Diharapkan dapat berkontribusi. Sesuai dengan kemampuan dan kerelaan hati.

Banjir di Bali menyisakan luka mendalam. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal. Atau sumber mata pencarian mereka terdampak.

Bantuan sekecil apapun akan sangat berarti. Untuk pemulihan pasca-bencana. Serta meringankan beban hidup. Para korban yang terdampak.

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya komunikasi efektif. Agar semangat gotong royong. Tidak tercoreng oleh isu paksaan. Atau interpretasi yang keliru.

Share This Article