ap – Denpasar, Bali, terguncang oleh sebuah kasus pelecehan yang memilukan.
Seorang ayah tiri berinisial RW kini mendekam di tahanan.
Ia diduga kuat telah mencabuli anak tirinya, C, yang masih duduk di bangku SMP.
Kasus ini terkuak setelah rentetan kejadian yang merobek hati.
Ibu korban, berinisial S, telah lama menyimpan curiga.
Sejak tahun 2004, bayangan kelam menyelimuti rumah tangga barunya.
Perbuatan bejat suami keduanya sudah tercium oleh insting seorang ibu.
Namun, ia tak memiliki bukti yang cukup.
S terpaksa membisu selama bertahun-tahun.
Ia hanya bisa mendiamkan perbuatan yang ia duga terjadi di balik punggungnya.
Sebuah dilema batin yang menghimpitnya dalam kesendirian yang pahit.
Kecurigaan itu terus menghantuinya, memberatkan setiap langkah.
Pelecehan terhadap C sendiri diduga telah berlangsung sejak tahun 2024.
Beberapa kali, tubuh mungil C menjadi korban kebejatan ayah tirinya.
Trauma mendalam mulai menggerogoti jiwanya secara perlahan.
Ia terpaksa menyimpan rahasia kelam itu seorang diri.
Tanggal 30 Agustus 2025 menjadi titik balik bagi C dan ibunya.
Setelah sekian lama menderita dalam diam, C akhirnya memberanikan diri bicara.
Ia mengungkapkan pelecehan yang telah ia alami kepada S, sang ibu.
“Sudah empat kali,” ujar C, dengan suara yang bergetar penuh kepedihan.
Pengakuan C sontak merobek hati S.
Kecurigaan yang selama ini ia pendam berubah menjadi kenyataan pahit.
Sadar putrinya membutuhkan perlindungan, S segera bertindak.
Ia tidak akan lagi membiarkan ini berlarut-larut.
Pada Minggu, 7 September 2025, S mendatangi Mapolda Bali.
Dengan langkah berat namun penuh tekad, ia melaporkan perbuatan bejat suaminya.
Laporan resmi kini telah tercatat, membuka babak baru perjuangan mereka.
S bertekad untuk mencari keadilan bagi putrinya.
S mengaku sempat memperingatkan pelaku, RW, beberapa waktu lalu.
Ia berharap sang suami berhenti dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Namun, peringatan itu ternyata tak digubris sama sekali.
RW tetap melanjutkan kebejatan moralnya.
Belakangan, tingkah laku C memang terlihat sangat aneh.
Perubahan drastis pada putrinya tak luput dari perhatian S.
C menjadi murung, sering melamun, dan kehilangan nafsu makan.
Sebuah tanda bahaya yang jelas terpancar dari perilakunya.
S curiga ada sesuatu yang sangat tidak beres sedang terjadi.
Ia melihat putrinya sering menyendiri, menarik diri dari lingkungan sosialnya.
Senyum ceria yang dulu selalu menghiasi wajah C kini telah sirna.
Digantikan oleh ekspresi kosong yang menyiratkan luka mendalam.
Barulah sekitar seminggu sebelum laporan resmi dibuat, C akhirnya jujur.
Ia menceritakan secara gamblang telah dilecehkan RW sebanyak empat kali.
Cerita itu dilengkapi dengan detail ancaman yang selalu dilontarkan pelaku.
RW mengancam agar C tidak memberitahu siapa pun, mengunci mulut korban.
Ancaman itu membuat C terpaksa bungkam selama ini.
Ketakutan menguasai dirinya, menghalanginya untuk mencari pertolongan.
Beban berat itu ditanggungnya sendirian, memendam luka yang semakin parah.
Setiap hari adalah perjuangan bagi C untuk bertahan.
“Anak saya merenung. Anak saya nggak mau makan,” kata S, dengan suara tertahan.
Air mata tumpah membasahi pipinya saat menceritakan penderitaan putrinya.
“Anak saya di-bully di sekolah,” tambahnya, mengungkapkan beban ganda C.
Perundungan di sekolah menambah luka batin yang tak terhingga.
Penderitaan C tak hanya di rumah oleh ayah tirinya.
Ia juga harus menghadapi ejekan dan perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya.
Lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman, justru menjadi neraka lain.
Hidup C menjadi rangkaian kesedihan yang tak berkesudahan.
Dalam upayanya mencari dukungan dan keadilan, S sempat berdialog dengan mertuanya.
Ia berharap mendapat perlindungan dan pengertian dari ibu kandung RW.
Namun, yang didapat justru respons yang sangat menyakitkan hati.
Perlindungan yang diharapkan justru berubah menjadi hinaan yang pedih.
Alih-alih mendapat simpati, C justru harus menerima hinaan dari nenek tirinya.
Kata-kata tajam menghujam hati C, menambah luka yang sudah menganga.
Nenek yang seharusnya menjadi pelindung, justru meruntuhkan semangatnya.
Ini adalah pukulan telak yang membuat S semakin marah dan sedih.
RW, sang pelaku, kini telah ditahan di Polresta Denpasar.
Proses hukum telah berjalan, menandakan babak awal perjuangan keadilan.
Penahanan ini memberikan sedikit kelegaan bagi S dan C.
Setidaknya, pelaku tidak lagi bisa bersembunyi dari perbuatannya.
Tidak hanya melaporkan suaminya, S juga mendatangi Polda Bali.
Ia berkonsultasi mengenai kelakuan mertuanya yang turut menyakiti C.
S ingin memastikan semua pihak yang terlibat mendapatkan balasan setimpal.
Namun, ia harus menghadapi kenyataan pahit terkait mertuanya.
Penyidik dari Ditreskrimum Polda Bali menjelaskan batasan hukum yang ada.
“Tidak ada pasal (yang dapat dikenakan),” kata penyidik itu.
Penjelasan tersebut disampaikan dengan nada yang penuh pertimbangan hukum.
Ini adalah pukulan lain dalam pencarian keadilan S.
Alasan hukumnya sangat jelas dan mengacu pada yurisdiksi.
“Karena mertuanya tinggal di Makassar. Jadi nggak ada hubungannya,” kata penyidik.
Lokasi tempat tinggal mertua menjadi faktor penentu dalam kasus ini.
Sebuah celah hukum yang membuat S merasa frustasi.
Kecuali, lanjut penyidik, “mertuanya ada di lokasi kejadian saat perbuatan (pelecehan anak) itu terjadi.”
Kehadiran fisik di lokasi kejadian adalah syarat mutlak untuk menjeratnya.
Tanpa bukti kehadiran langsung, tuduhan tidak dapat diproses secara hukum.
Ini adalah realitas hukum yang sulit diterima oleh S.
Ketiadaan pasal yang dapat menjerat mertua menyisakan kepahitan mendalam.
Luka batin C semakin dalam, merasa tidak sepenuhnya mendapat keadilan.
S harus menerima bahwa tidak semua orang yang menyakiti putrinya dapat dihukum.
Namun, hal ini tidak menghentikan tekad S untuk terus berjuang.
S, sang ibu yang tegar, takkan menyerah demi putrinya.
Ia terus berjuang memastikan C mendapatkan pemulihan yang layak.
Harapan akan keadilan sejati dan kesembuhan putrinya terus menyala dalam dirinya.
Perjalanan panjang masih menanti mereka berdua.
Perjalanan pemulihan C masih sangat panjang dan penuh tantangan.
Trauma mendalam akibat pelecehan dan hinaan membekas kuat di jiwanya.
Dukungan psikologis dan pendampingan profesional sangat dibutuhkan C.
Ia perlu bantuan untuk kembali menemukan senyumnya yang hilang.
Kasus ini adalah pengingat keras bagi seluruh masyarakat.
Kekerasan seksual pada anak bisa terjadi di mana saja, bahkan di lingkungan terdekat.
Kewaspadaan harus selalu ditingkatkan demi melindungi generasi penerus.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman.
Lingkungan terdekat pun bisa menjadi ancaman jika abai.
Masyarakat harus lebih peka terhadap perubahan perilaku anak-anak di sekitar mereka.
Setiap anak berhak atas perlindungan penuh dan tumbuh kembang yang sehat.
Jangan biarkan ada lagi C lain yang menderita dalam diam.
Pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku kejahatan seksual.
Juga, perlindungan maksimal bagi para korban agar mereka bisa bangkit kembali.
Memastikan bahwa pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal adalah sebuah keharusan.
Ini demi keadilan dan efek jera bagi pelaku lainnya.
Kasus pilu di Denpasar ini adalah cerminan nyata dari masalah serius di masyarakat.
Perjuangan melawan kejahatan seksual anak adalah tanggung jawab kita bersama.
Semoga keadilan dapat diraih sepenuhnya bagi C dan ibunya, S.
Dan semoga C dapat menemukan kembali kedamaian dalam hidupnya.
