Surabaya kembali menghadapi cuaca terik yang ekstrem dengan suhu udara mencapai 35 derajat Celsius, bahkan terasa lebih menyengat seperti 41 derajat Celsius di beberapa titik. Kondisi panas menyengat ini menjadi keluhan utama warga kota pahlawan dan juga melanda berbagai wilayah lain di Jawa Timur selama beberapa hari terakhir. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memberikan penjelasan komprehensif terkait fenomena ini, sekaligus mengeluarkan imbauan penting bagi masyarakat untuk menjaga kesehatan dan kewaspadaan.
Fenomena suhu tinggi yang terjadi di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik mencapai puncaknya belakangan ini. Laporan BMKG Juanda menunjukkan bahwa suhu di dua kota besar tersebut bisa menembus 36 derajat Celsius. Cuaca di Gresik juga cenderung cerah terik sepanjang hari. Berbeda dengan kota-kota tersebut, wilayah pegunungan seperti Batu, diprediksi akan mengalami suhu yang lebih sejuk, sekitar 16 derajat Celsius. Meskipun demikian, BMKG juga memberikan kabar bahwa sebagian wilayah Jawa Timur, khususnya pada pagi hari, diprakirakan cerah berawan dan berpeluang diguyur hujan ringan hingga sore atau malam hari. Setelah hujan, cuaca akan kembali cerah atau berkabut pada dini hari.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa peningkatan suhu ekstrem ini adalah bagian dari masa pancaroba, yaitu periode transisi dari musim kemarau menuju musim hujan. Masa peralihan ini seringkali ditandai dengan suhu udara yang tinggi dan pola cuaca yang tidak menentu. “Beberapa wilayah yang mencatat suhu tertinggi dan paling terdampak antara lain DKI Jakarta suhu mencapai 35°C. Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur suhu hingga 36°C,” ujar Guswanto dalam keterangan tertulis yang diterima CNBC Indonesia, Selasa, 14 Oktober 2025. Pernyataannya menggarisbawahi bahwa fenomena ini bukanlah kejadian lokal semata, melainkan bagian dari pola cuaca regional yang lebih luas di Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
Penyebab lain dari teriknya cuaca ini adalah fenomena kulminasi utama. Prakirawan cuaca BMKG Kelas I Juanda, Shanas Prayuda, menerangkan bahwa kulminasi utama terjadi ketika posisi matahari berada tepat di garis ekuator. Hal ini menyebabkan sinar matahari datang secara tegak lurus ke permukaan bumi, sehingga intensitas penyinaran menjadi sangat tinggi. Kondisi ini diperparah dengan minimnya tutupan awan, yang memungkinkan sinar matahari menembus atmosfer tanpa hambatan signifikan.
Lebih lanjut, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, juga menyoroti peran peningkatan radiasi matahari. “Kenapa terasa makin panas? Pertama, minim tutupan awan, sinar matahari langsung menembus tanpa hambatan,” jelas Dwikorita, seperti dikutip dari Detik Jabar. Ia melanjutkan, “(Kedua), radiasi matahari meningkat, terutama di wilayah daratan seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.” Radiasi matahari yang tinggi dikombinasikan dengan kelembapan udara yang juga tinggi, menciptakan sensasi panas yang jauh lebih menyengat daripada suhu aktual yang terukur. Ini menjelaskan mengapa suhu 36 derajat Celsius bisa terasa seperti 40 hingga 41 derajat Celsius, membuat aktivitas di luar ruangan menjadi sangat tidak nyaman.
Dampak dari cuaca panas ekstrem ini terasa luas di masyarakat. Banyak warganet di media sosial X (sebelumnya Twitter) mengeluhkan suhu udara yang terasa panas dan terik sepanjang hari, bahkan di pagi dan malam hari. Keluhan ini muncul meskipun di beberapa daerah lain di Indonesia sudah mulai diguyur hujan. Lebih dari sekadar ketidaknyamanan fisik, kondisi cuaca panas juga memiliki implikasi psikologis. Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Marini, S.Psi., M.Psi., menuturkan bahwa suhu udara yang tinggi terbukti memiliki korelasi dengan peningkatan tingkat stres dan agresivitas pada individu. Hal ini juga dapat berdampak negatif pada produktivitas kerja dan belajar.
Untuk menghadapi kondisi cuaca yang menantang ini, BMKG memberikan sejumlah imbauan penting. Masyarakat diminta untuk selalu menjaga hidrasi tubuh dengan mengonsumsi air yang cukup, serta menghindari aktivitas fisik berat di bawah terik matahari langsung. Penggunaan pelindung diri seperti topi, kacamata hitam, atau payung sangat dianjurkan saat beraktivitas di luar ruangan. Mengingat cuaca di wilayah tropis seperti Jawa Timur dapat berubah dalam waktu singkat, BMKG juga menyarankan masyarakat untuk membawa payung atau jas hujan sebagai langkah antisipasi, terutama bagi mereka yang memiliki agenda perjalanan.
Penting bagi warga untuk terus memantau pembaruan informasi cuaca dari sumber resmi. Aplikasi BMKG atau layanan cuaca daring lainnya dapat menjadi alat bantu yang efektif untuk mendapatkan informasi terkini dan prakiraan cuaca akurat. Prakirawan BMKG Kelas I Juanda, Shanas Prayuda, memprediksi bahwa kondisi suhu akan cenderung menurun pada awal bulan Oktober. Hal ini dikarenakan pada periode tersebut, sebagian besar wilayah Jawa Timur akan mulai memasuki masa peralihan menuju musim hujan, yang diharapkan membawa penurunan suhu dan udara yang lebih sejuk. Namun, hingga saat itu, kewaspadaan dan adaptasi terhadap cuaca ekstrem tetap menjadi kunci.
