Dua Oknum Polairud Bali Diduga Terlibat TPPO, Puluhan ABK Jadi Korban

10 Min Read

ap – Dugaan keterlibatan dua oknum personel Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) di Bali mengguncang publik. Mereka dituduh terlibat dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Korbannya mencapai puluhan calon Anak Buah Kapal (ABK).

Kasus ini terungkap di Pelabuhan Benoa, Bali. Total 21 orang kini tercatat sebagai korban. Laporan ini datang dari kuasa hukum mereka.

Advokasi Perlindungan Pekerja Perikanan (Tangkap) menjadi pihak yang mendampingi korban. Siti Wahyatun, kuasa hukum dari Tangkap, membeberkan detailnya.

Ia menyatakan oknum Polairud itu telah dilaporkan ke Polda Bali. Ini menjadi sorotan serius terhadap institusi penegak hukum.

“Yang kami ketahui dari bukti yang kami terima itu ada dua (oknum polisi),” kata Siti Wahyatun. Pernyataan itu disampaikan saat konferensi pers.

Acara berlangsung di Kantor LBH Bali, Denpasar. Tepatnya pada Senin, 8 September sore. Siti menambahkan, “Ada dua orang oknum yang datang ke sana.”

Oknum Polairud ini datang dua kali ke lokasi penyekapan. Para korban disekap di dalam sebuah kapal. Kapal Motor (KM) Awindo 2A menjadi tempat penahanan mereka.

Kedatangan pertama tercatat pada 9 Agustus 2025. Kemudian, kunjungan kedua terjadi pada 11 Agustus 2025. Kedua tanggal ini menjadi bukti penting.

Mereka diduga datang bersama para calo. Para calo ini membawa calon ABK ke kapal tersebut. KM Awindo 2A berlabuh di Perairan Pelabuhan Benoa.

“Yang pertama itu di tanggal 9 Agustus,” terang Siti. “Mereka mendata dan memfoto korban satu per satu.” Proses pendataan ini terkesan resmi.

Namun, kedatangan kedua lebih mencurigakan. “Kemudian mereka datang lagi itu tanggal 11 Agustus untuk memerintah,” lanjut Siti.

Pada kunjungan kedua, oknum Polairud ini didampingi calo. “Jadi yang kedua itu dia datangnya sama calo,” ujarnya.

Calo tersebut membagikan dokumen penting. Dokumen itu adalah Praktik Kerja Lapangan (PKL). Para calon ABK diminta segera menandatanganinya.

“Oknum ini yang memerintahkan,” tegas Siti. Mereka tidak diberi kesempatan membaca dokumen. “Tanpa memberi kesempatan untuk para calon ABK ini untuk membacanya.”

Perintah ini menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa oknum polisi memerintahkan penandatanganan tanpa membaca? Ini mengindikasikan tekanan.

Para korban berada di KM Awindo 2A selama seminggu. Mereka ditahan sejak tanggal 8 hingga 15 Agustus 2025. Kapal itu menjadi tempat tinggal sementara.

“Untuk di beberapa kasus itu sebenarnya ditampung di penampungan,” jelas Siti. Namun, kali ini, “mereka ditampung di kapal.”

Situasi ini sangat tidak biasa. Mereka belum berlayar mencari ikan. Status PKL mereka juga belum sah.

“Mereka juga jadi masih menunggu,” kata Siti. Kapal itu berlabuh di area Kolam Labu. Ini adalah bagian dari Pelabuhan Benoa.

Lokasi kapal agak jauh dari daratan. Untuk mencapai darat, diperlukan sampan. “Jadi dia di laut, agak jauh dari darat.”

“Jadi itu harus menggunakan sampan dan lain sebagainya,” imbuh Siti. Para korban terisolasi.

Mereka tidak memiliki aktivitas penangkapan ikan. “Tapi mereka belum berlayar. Jadi mereka berhenti di situ, belum ada aktivitas untuk penangkapan ikan.”

Ini semakin memperkuat dugaan penyekapan. Para korban dalam posisi rentan. Mereka bergantung pada pihak-pihak yang menampung mereka.

Tujuh orang telah dilaporkan dalam kasus ini. Saat ini, penyidikan terus berlanjut di Polda Bali. Pihak kepolisian bekerja untuk mengungkap kebenaran.

Laporan 21 korban resmi diterima SPKT Polda Bali. Ini terjadi pada 23 Agustus 2025. Surat Tanda Terima Laporan menjadi bukti.

Nomor laporan adalah STTLP/591/VIII/2025/SPKT/Polda Bali. Dokumen ini penting untuk proses hukum.

Awalnya, pengacara korban melaporkan satu oknum Polairud. Inisialnya adalah PS. Laporan ini menjadi pintu masuk penyelidikan.

Namun, pengembangan kasus mengungkapkan fakta lain. Ada satu oknum Polairud lain yang diduga terlibat. “Yang kami laporkan Polairud itu hanya satu Inisial PS,” kata I Gede Andi Winaba.

I Gede Andi Winaba juga merupakan kuasa hukum korban. “Kemudian dalam proses pengembangan itu juga dipanggil untuk oknum lainnya.”

Oknum kedua ini menjadi terduga pelaku. “Satu oknum pelaku ini dia tidak terlibat secara aktif tapi ada di situ,” jelas Andi.

Kedua oknum Polairud ini diduga mengetahui keberadaan korban. Mereka tahu para ABK ditahan di KM Awindo 2A. Kapal itu berjarak 10 menit dari darat.

Perjalanan menggunakan perahu jukung. Jarak tersebut cukup signifikan.

“Iya karena memakai seragam, memakai identitas kepolisian juga,” ungkap Andi. Ini terjadi saat proses penampungan di kapal.

Kehadiran mereka dalam seragam resmi menambah bobot dugaan. Ini memberikan kesan legitimasi pada proses yang ilegal.

Peran oknum polisi ini terungkap dari keterangan korban. Tugas mereka adalah memeriksa identitas calon ABK. Apakah ada yang di bawah umur?

“Oknum polisi ini, dia perannya pada saat itu yang disampaikan oleh para korban,” terang Andi. Catatan ini juga ada dalam berita acara.

“Mereka itu tugasnya untuk memeriksa identitas para calon ABK ini,” lanjutnya. Pengecekan KTP dan umur menjadi fokus.

“Terutama untuk umur. Apakah ada yang dibawa umur yang sebagainya.” Proses ini adalah standar.

“Jadi dicek keseluruhan, kalau memang sudah oke. Maka untuk proses pekerjaan sebelum berangkat di atas kapal itu bisa dilanjutkan begitu,” kata Andi.

Namun, keterangan korban juga mengungkap hal lain. Selain mendata, oknum polisi memerintahkan penandatanganan PKL. Ini terjadi dengan tergesa-gesa.

“Dia juga memerintahkan untuk para korban segera menandatangani PKL-nya,” ungkapnya. Ini bukan lagi sekadar pemeriksaan identitas.

“Jadi mungkin ini nanti akan ada perkembangan dari kepolisian juga,” harap Andi. Penyelidikan harus lebih mendetail.

“Lebih detailnya mereka ini sebenarnya apa. Kenapa mereka ada di situ dan kenapa mereka yang mendata para calon ABK.”

Pertanyaan muncul, mengapa mereka sampai memerintahkan. “Dan juga memerintahkan para calon ABK ini untuk segera menandatangani.”

Peran aktif ini sangat mengkhawatirkan. Ini melebihi tugas kepolisian biasa.

Sebelumnya, Ditreskrimum Polda Bali memang membongkar kasus TPPO. Kasus ini melibatkan puluhan korban. Lokasinya juga di Pelabuhan Benoa.

Sejauh ini, polisi mendata ada 21 orang korban. Jumlah ini konsisten dengan laporan Tangkap.

Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Ariasandy memberikan keterangan. Ia mengatakan 21 korban ABK telah diserahkan. Mereka diserahkan kepada Direktorat Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.

Direktorat tersebut berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Penyerahan korban dilakukan pada Selasa, 2 September.

Tujuannya jelas. “Untuk dipulangkan ke rumahnya masing-masing,” kata Kombes Ariasandy. Pernyataan ini tertulis pada Kamis, 4 September.

Kronologi terbongkarnya TPPO ini dimulai pada 29 Juli 2025. Polisi mendapatkan informasi penting. Ada awak kapal yang memohon evakuasi ke Basarnas.

Informasi ini memicu penyelidikan. Subdit IV Ditreskrimum Polda Bali menelusuri laporan. Akhirnya, mereka menemukan para korban.

Surat perintah penyelidikan kemudian dikeluarkan. Polisi melakukan audiensi dengan ABK KM Awindo 2A. Mereka diberikan lembar testimoni.

Lembar “rise and speak” adalah program kerja Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak. Juga Pidana Perdagangan Orang (Dirtipid PPA-PPO) Bareskrim Polri.

Polisi menemukan sejumlah testimonial mencurigakan. Indikasi penjeratan utang dan penipuan terkuak. Metode perekrutan juga identik dengan TPPO.

Modus ini memanfaatkan kelompok rentan. Polisi kemudian menawarkan evakuasi. Banyak dari korban ingin segera dievakuasi.

Karena keterbatasan, evakuasi dilakukan bertahap. Tim Subdit IV Ditreskrimum Polda Bali berupaya maksimal.

Korban TPPO ini berasal dari berbagai daerah. Mereka kebanyakan dari Pulau Jawa. Ada dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Jabodetabek.

Modus penipuan untuk merekrut ABK sangat licik. Informasi disebar melalui media sosial. Ini menarik perhatian calon korban.

Korban yang terpengaruh kemudian dijemput pelaku. Biaya perjalanan mereka ditanggung. Lalu, mereka dikumpulkan di satu tempat.

Pekalongan, Jawa Tengah, menjadi lokasi penampungan awal. Setelah itu, mereka dibawa ke Pelabuhan Benoa.

Hingga saat ini, belum ada tersangka yang ditetapkan. Pihak kepolisian masih terus melakukan penyidikan. Kasus ini akan diselesaikan tuntas.

“Untuk pemilik masih dalam proses penyelidikan dan pemeriksaan,” ujar Ariasandy. Ini menunjukkan kompleksitas kasus.

“Peran-peran terjadinya TPPO masih berlangsung secara maraton.” Polda Bali berkomitmen penuh.

Kasus ini menyoroti kerentanan calon pekerja. Terutama mereka yang mencari nafkah di sektor perikanan. Kehadiran oknum aparat memperburuk situasi.

Dugaan keterlibatan oknum Polairud adalah pukulan bagi kepercayaan publik. Penegakan hukum harus bersih dari praktik semacam ini.

Penyidikan mendalam diperlukan. Semua pihak yang terlibat harus dimintai pertanggungjawaban. Demi keadilan bagi 21 korban.

Masyarakat menunggu hasil akhir dari penyelidikan ini. Kasus TPPO di Benoa ini harus menjadi pelajaran berharga.

Pengawasan ketat terhadap rekrutmen ABK sangat dibutuhkan. Perlindungan pekerja perikanan harus menjadi prioritas.

Pemerintah dan aparat harus memastikan hal serupa tidak terulang lagi. Ini demi menjaga integritas negara.

Dan juga demi melindungi warga negara. Terutama dari ancaman perdagangan orang yang kejam.

Share This Article