ap – Tanggal 24 September 2025 akan diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Penetapan hari ini adalah bentuk penghormatan atas kontribusi luar biasa para petani. Mereka adalah garda terdepan pemenuh kebutuhan pangan nasional.
Dari segi sejarah, 24 September adalah penanda lahirnya UU No. 5 Tahun 1960. Undang-undang ini mengatur Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA menggantikan hukum kolonial Hindia Belanda, seperti Agrarische Wet 1870 dan Domeinverklaring.
Peringatan Hari Tani diselenggarakan tiap tahun oleh banyak pihak. Ini termasuk pemerintah dan para petani. Namun, kita harus berani mengakui bahwa belum ada kebijakan berpihak.
Kebijakan tersebut seharusnya memperkuat kedaulatan sektor pertanian. Utamanya dalam menyejahterakan perekonomian petani. Juga memastikan taraf kehidupan layak bagi mereka.
Akibatnya, sejak kemerdekaan pada 1945 hingga kini, belum ada sistem yang menjamin kesejahteraan petani. Ketahanan dan kedaulatan pangan berkelanjutan pun belum tercapai. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa.
Harus diakui, capaian swasembada pangan era Orde Baru (1984-1988) menyisakan persoalan. Masalah ini belum sepenuhnya dipahami pemerintah saat ini. Rezim sekarang berkeinginan kuat mewujudkan swasembada serupa.
Namun, klaim swasembada pangan Orde Baru hanya menempatkan beras sebagai komoditas pokok. Padahal, di berbagai daerah masih banyak ragam pangan lokal. Ada umbi-umbian, sagu, dan jagung yang belum terperhatikan.
Ragam pangan lokal itu sesungguhnya belum mencapai swasembada. Maka, tepat dikatakan capaian 1980-1984 adalah swasembada beras. Bukanlah swasembada pangan secara menyeluruh.
Pun pada akhirnya, swasembada beras saat itu hanya bertahan beberapa tahun. Setelahnya, Indonesia kembali melakukan impor beras. Ini menunjukkan keberlanjutan swasembada yang rapuh.
Kedua, belum ada kesejahteraan yang menyentuh semua petani secara merata. Studi “Variations in Inequality of Landholdings in Indonesia, 1983” mengungkap fakta ini. Studi tersebut menggunakan Sensus Pertanian 1983 dari BPS.
Hasil studi menunjukkan kepemilikan tanah sangat tidak merata antar daerah. Ketimpangan ini terlihat baik di Pulau Jawa maupun di pulau lain. Ini adalah cerminan ketidakadilan agraria.
Bahkan, grafik Indonesia Statistic Bureau (1960-2018) menunjukkan data mencengangkan. Sekitar 30% petani Indonesia tidak memiliki lahan sendiri. Ini adalah potret nyata kemiskinan struktural.
Dari segi luas lahan, 77% petani hanya memiliki lahan kurang dari 1 hektar. Mereka sering disebut petani gurem. Ini memperparah kondisi ketimpangan penguasaan tanah.
Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dikutip Kompas (19/2/2025), menguatkan data tersebut. Penguasaan tanah di Indonesia sangat timpang. Hanya sekitar 1% penduduk menguasai hampir 70% lahan.
Sementara itu, sekitar 17 juta petani kecil rata-rata hanya memiliki lahan garapan di bawah setengah hektare. Ini adalah jurang pemisah yang sangat lebar. Potret ketidakadilan agraria terus berlanjut.
Perkembangan kondisi agraria kini tetap sama, bahkan makin parah. Hal ini seperti pengakuan Menteri ATR/BPN pada Juli 2025. Ia mengungkap sekitar 46% lahan non-hutan di Indonesia hanya dikuasai 60 keluarga.
Pengakuan itu semakin menjustifikasi adanya persoalan tata kelola pertanahan. Masalah ini tak kunjung selesai. Bahkan cenderung mengalami eskalasi konflik.
Konflik ini timbul akibat tidak ada kebijakan yang serius. Kebijakan itu seharusnya melakukan reforma agraria. Ini adalah akar masalah yang perlu segera diatasi.
Reforma agraria sesungguhnya sudah dikampanyekan sejak lama. Bahkan, ditetapkan sebagai kebijakan prioritas rezim Jokowi (2015-2024). Namun, implementasinya masih jauh dari harapan.
Masalahnya, selama ini reforma agraria terfokus pada legalisasi dan redistribusi tanah. Sehingga belum menyentuh persoalan fundamental pertanahan. Ini adalah penyebab ketidakadilan agraria.
Beberapa bentuk ketidakadilan itu seperti konsentrasi penguasaan tanah. Ini didominasi oleh kelompok pengusaha besar. Praktik ini merugikan petani kecil secara langsung.
Ada pula masifnya alih fungsi lahan pertanian. Ini mengancam ketahanan pangan. Praktik pengadaan tanah secara sewenang-wenang juga sering terjadi.
Tak luput, tersingkirnya kelompok masyarakat adat dari tanah ulayat mereka. Akibatnya, petani mengalami kemiskinan struktural. Mereka tidak memiliki akses lahan dan modal yang memadai.
Pada nyatanya, petani masih belum aman dan bebas dari praktik ketidakadilan. Praktik ini acapkali melibatkan negara sebagai aktor kekerasan. Ini adalah ironi di tengah upaya pembangunan.
Tak jarang, negara justru mewakili kepentingan perusahaan swasta. Ini dilakukan dengan dalih Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek-proyek ini seringkali mengorbankan rakyat.
Melalui PSN, turut menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian produktif. Akibatnya, masyarakat terpaksa berhenti bertani. Mereka beralih ke pekerjaan lain, seperti diungkap Mongabay.
Hal itu seperti yang terjadi di beberapa tempat. Contohnya, hilirisasi nikel di Sulawesi. Proyek ini merusak kualitas air dan tanah pertanian. Petani kehilangan sumber penghidupan mereka.
Kondisi timpang makin terlihat dari maraknya konflik agraria. Konflik ini muncul dalam satu dekade terakhir. Ini adalah indikator nyata kegagalan tata kelola agraria.
Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memperlihatkan data mengejutkan. Sepanjang 2015-2023, terjadi ribuan letusan konflik agraria di Indonesia. Konflik ini melibatkan jutaan hektare tanah.
Konflik tersebut berdampak pada jutaan keluarga petani. Dari jumlah itu, sektor perkebunan dan pertanian selalu menempati posisi teratas. Mereka adalah sumber sengketa utama.
Polanya meliputi perebutan lahan antara petani dan perusahaan. Ada juga tumpang tindih izin konsesi Hak Guna Usaha (HGU). Kriminalisasi petani saat mempertahankan tanah garapan mereka juga marak.
Sektor perkebunan, terutama sawit, menjadi contoh paling nyata. Laporan SawitWatch tahun 2020 menunjukkan data pilu. Ratusan komunitas petani dan masyarakat adat berhadapan dengan perusahaan perkebunan besar.
Ini akibat tumpang tindih klaim lahan. Tak jarang konflik ini berujung pada tindakan kekerasan. Bahkan penggusuran dan kriminalisasi petani kecil. Ini cerminan lemahnya perlindungan hukum.
Laporan ini memperlihatkan betapa lemahnya perlindungan hukum bagi petani kecil. Sekaligus kuatnya posisi pemilik modal dalam struktur agraria kita. Keadilan agraria masih jauh panggang dari api.
Konflik yang terus berulang itu menunjukkan bahwa masalah agraria di Indonesia bukan semata perkara administrasi tanah. Melainkan terkait dengan struktur penguasaan sumber daya yang timpang.
Negara yang seharusnya hadir untuk memastikan akses yang adil justru sering menjadi bagian dari masalah. Misalnya, melalui penerbitan izin konsesi skala besar. Izin ini mengorbankan lahan garapan rakyat.
Momentum Hari Tani harus dimaknai sebagai pengingat. Supaya ada keberpihakan terhadap para petani. Mereka harus bisa mengelola lahan pertanian sesuai amanat konstitusi.
Juga sesuai amanat UUPA, yaitu tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (public welfare). Ini adalah prinsip dasar yang harus dipegang teguh.
Reforma agraria tidak boleh berhenti pada sebatas sertifikasi tanah atau redistribusi terbatas. Melainkan harus menyentuh aspek struktural. Ini adalah kunci perubahan nyata.
Reforma agraria harus membongkar konsentrasi penguasaan tanah oleh masyarakat dominan. Memastikan pemerataan akses tanah bagi petani gurem adalah tujuan utama.
Serta memberikan perlindungan hukum yang kuat. Agar mereka terbebas dari ancaman kriminalisasi. Ini adalah langkah konkret menuju keadilan.
Tanpa keberanian untuk melakukan perubahan struktural, ketidakadilan agraria akan terus berlangsung. Petani tetap akan diposisikan hanya sebagai penyedia pangan murah.
Mereka tidak akan pernah menikmati kesejahteraan yang layak. Padahal, dari petani kita belajar bahwa ketahanan pangan tidak akan pernah bisa tercapai. Tanpa adanya keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah.
Ke depan harus didorong pula kebijakan pengendalian ketat terhadap lahan pertanian. Lahan ini sering dikonversi menjadi permukiman atau pemanfaatan non pertanian.
Tak jarang, laporan Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) mengungkap fakta ini. Terjadinya konversi lahan petani gurem karena tren penjualan sawah.
Penjualan sawah ini dilakukan kepada petani lain maupun ke pemodal besar. Ini adalah praktik yang mengkhawatirkan. Mengancam masa depan pertanian nasional.
Konversi lahan pertanian yang terjadi secara cepat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Pastinya akan mempengaruhi target ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Ini adalah ancaman serius.
Keberadaan UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Beserta aturan turunannya, pada nyatanya belum menjamin pengendalian konversi itu.
Ini akibat lemahnya implementasi dan penegakan hukumnya. Regulasi yang ada tidak berjalan efektif. Perlu ada upaya serius dari pemerintah.
Negara juga harus secepatnya menghentikan proyek-proyek populis. Proyek ini mengkapitalisasi sektor perekonomian. Seperti PSN, food estate (lumbung pangan), dan pembangunan Ibu Kota Nusantara.
Termasuk Bank Tanah, dan pengampunan bagi perusahaan perambah hutan (illegal). Proyek-proyek ini seringkali membawa dampak negatif. Terutama bagi lingkungan dan masyarakat adat.
Setidaknya kita perlu berkaca dari proyek food estate. Proyek ini sudah dijalankan bertahun-tahun. Pada nyatanya tidak memberikan dampak signifikan dalam mendistribusikan komoditas pangan menjadi lebih murah.
Justru yang terjadi, karena food estate malah merusak bentang alam hutan. Ini adalah ironi pembangunan. Mengorbankan lingkungan demi klaim ketahanan pangan.
Hari Tani Nasional bukan sekadar seremoni mengenang lahirnya UUPA 1960. Melainkan momentum untuk menagih janji negara. Janji dalam menegakkan keadilan agraria di sektor pertanian.
Selama tanah masih dikuasai segelintir orang. Selama petani kecil tetap terpinggirkan. Dan selama konflik agraria terus berulang tanpa penyelesaian yang adil.
Maka cita-cita swasembada pangan sejati hanya akan menjadi mimpi. Ini adalah realitas pahit yang harus dihadapi. Perubahan struktural adalah keharusan.
Kita harus mengingat pesan Soekarno, “Hidup matinya sebuah negara, ada di tangan sektor pertanian negeri tersebut.” Pesan ini relevan hingga kini.
Kesejahteraan petani adalah fondasi kedaulatan pangan. Dan keadilan agraria di sektor pertanian adalah jalan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Ini adalah panggilan untuk bertindak.
