ap – Di era media sosial dan tekanan untuk selalu tampil eksis, gaya hidup konsumtif menjadi ancaman nyata, terutama bagi generasi milenial dan Gen Z. Data menunjukkan bahwa keinginan untuk bersosialisasi dan mengikuti tren seringkali menguras dompet, menjauhkan mereka dari tujuan keuangan yang lebih penting. Hampir 60% dari generasi ini mengakui bahwa pengeluaran untuk aktivitas sosial berdampak negatif pada kondisi finansial mereka.
Kisah Emmy, seorang wanita 31 tahun yang tinggal di Los Angeles, menjadi contoh nyata bagaimana gaya hidup sosial dapat menjerat seseorang dalam utang kartu kredit. Sejak usia 18 tahun, Emmy terbiasa dengan pola gali lubang tutup lubang, terus-menerus mengoptimalkan kartunya untuk memenuhi tuntutan gaya hidupnya. Pada Maret 2025, total utangnya mencapai lebih dari US$ 28.000.
“Saya tahu ini salah saya. Saya selalu menjadi teman yang berkata, ‘Sukses,’ atau ‘Oh, jangan khawatir, saya bisa’ atau ‘Bayar saja saya lain kali,'” ungkap Emmy, menggambarkan bagaimana ia seringkali mengutamakan kesenangan teman-temannya di atas kemampuan finansialnya sendiri. Pengakuan ini mencerminkan tekanan sosial yang dihadapi banyak anak muda untuk selalu terlihat mampu dan menyenangkan.
Survei dari Ally Bank menunjukkan bahwa Emmy tidak sendirian. Hampir 60% milenial dan Gen Z mengakui bahwa tujuan keuangan mereka terpengaruh oleh pengeluaran sosial. Jack Howard, Kepala Kesejahteraan Finansial di Ally Bank, mengakui bahwa bersosialisasi itu penting, namun pengeluaran berlebihan menjadi masalah serius. Survei menunjukkan bahwa 42% milenial dan Gen Z melaporkan pengeluaran berlebihan pada anggaran sosial mereka beberapa bulan dalam setahun.
Orang dewasa di Amerika Serikat memprioritaskan waktu bersosialisasi, dengan 69% responden survei mengatakan mereka mencoba untuk terhubung dengan teman-teman mereka secara langsung setidaknya sekali seminggu. Secara rata-rata mereka menghabiskan US$ 250 per bulan untuk kegiatan sosial. Ironisnya, hanya sedikit yang memiliki anggaran yang jelas untuk pengeluaran sosial. Hanya 18% Gen Z dan milenial yang mengatakan mereka memiliki anggaran yang ketat untuk kegiatan bersama teman-teman.
Howard menekankan pentingnya memasukkan pengeluaran sosial ke dalam anggaran. “Saya rasa banyak orang tidak menyadari bahwa minum koktail bersama teman-teman perempuan saya hari ini, makan siang di siang hari ini, lalu saya pergi ke DoorDash dengan pasangan saya di hari lain, semua pengeluaran itu menumpuk,” jelasnya, menyoroti bagaimana pengeluaran kecil yang seringkali diabaikan dapat menumpuk menjadi masalah besar.
Untuk mengatasi masalah ini, Howard menyarankan agar masyarakat memandang uang sebagai alat untuk meningkatkan nilai-nilai dan pengalaman. Ia juga menekankan pentingnya memikirkan nilai-nilai pribadi dan memastikan bahwa pengeluaran mencerminkan nilai-nilai tersebut. Jika aktivitas mahal seperti makan malam di luar atau bepergian dengan teman-teman sangat penting, maka seseorang mungkin perlu mengurangi pengeluaran di area lain dalam hidup.
Selain penyesuaian anggaran, Howard juga merekomendasikan untuk mencari aktivitas murah atau gratis bersama teman-teman. Ia berpendapat bahwa yang terpenting adalah pengalaman dan waktu yang berkualitas bersama teman, bukan seberapa mahal aktivitas tersebut. “Yang benar-benar Anda inginkan adalah pengalamannya. Yang benar-benar Anda inginkan adalah waktu bersama teman Anda,” katanya.
Kembali ke kasus Emmy, ia sedang berusaha menyesuaikan diri dan berkomunikasi dengan teman-temannya untuk menyarankan tempat nongkrong gratis atau lebih murah. Namun, perubahan ini tidak mudah karena ia merasa nyaman menghabiskan uang dengan teman-temannya, dan mereka tidak tahu seberapa besar utang yang dihadapinya. Rasa malu dan takut dinilai menjadi penghalang utama.
Howard menjelaskan bahwa rasa malu adalah hal yang umum dan dapat berkontribusi pada pengeluaran berlebihan yang berkelanjutan. Ia menyarankan untuk mengidentifikasi dari mana perasaan itu berasal agar dapat lebih memahami mengapa seseorang cenderung mengatakan “ya” untuk hal-hal yang mungkin tidak mampu dibeli. Pola pikir tentang uang seringkali berasal dari cara seseorang dibesarkan atau pengalaman masa kecil.
“Sampai Anda benar-benar menghubungkan masa lalu itu dengan masa kini, Anda cenderung melakukan hal-hal itu berulang-ulang, yang akan terlihat tidak hanya dalam cara Anda membelanjakan uang untuk diri sendiri, tetapi juga dalam cara Anda membelanjakan uang dalam hubungan dengan teman dan keluarga,” ungkap Howard, menekankan pentingnya memahami akar masalah keuangan.
Jika seseorang merasa kesulitan mengelola keuangan dengan lebih baik, Howard menyarankan untuk bekerja sama dengan profesional seperti perencana keuangan bersertifikat atau terapis keuangan yang dapat memberikan panduan untuk situasi spesifik individu. Dengan bantuan yang tepat, milenial dan Gen Z dapat membebaskan diri dari jerat gaya hidup dan mencapai tujuan keuangan mereka.
