ap – Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya buka suara. Bantahan kubu Menteri era Joko Widodo, Nadiem Makarim, tidak menggoyahkan. Mereka mengklaim Nadiem tidak menerima aliran dana dalam kasus korupsi pengadaan laptop Program Digitalisasi Pendidikan. Kejagung tetap teguh pada pendiriannya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna menanggapi. Pihaknya tidak mempersoalkan bantahan Hotman Paris. Hotman adalah kuasa hukum Nadiem. Pernyataan Kejagung datang pada Senin, 15 September.
Anang menegaskan, kasus korupsi punya cakupan luas. Tidak sebatas memperkaya diri sendiri semata. Ada unsur memperkaya orang lain di dalamnya. Ini adalah poin kunci dari respons Kejagung.
“Silakan saja itu pendapat dari penasihat terhadap kliennya,” ujar Anang. Ia melanjutkan, “Tapi yang jelas perbuatan tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas memperkaya diri sendiri tapi memperkaya orang lain juga kan unsurnya jelas di situ.” Penjelasan ini memperjelas dasar hukum Kejagung.
Meski demikian, Anang tidak merinci lebih jauh. Ia belum mengungkap siapa saja sosok yang diduga menerima keuntungan. Terutama dalam perkara pengadaan laptop Chromebook tersebut. Publik masih menunggu detail lebih lanjut.
Penyidik masih terus bekerja. Anang mengatakan, pengembangan kasus sedang berlangsung. Tujuannya mengungkap seluruh pihak yang terlibat. Aksi korupsi ini menjadi perhatian serius.
“Yang jelas saat ini penyidik tetap melakukan pendalaman,” jelas Anang. “Bagaimana mengungkap fakta-fakta hukum yang akan berkembang, apakah nanti ada pihak lain kita lihat saja.” Kasus ini diprediksi akan terus memunculkan fakta baru.
Sebelumnya, Hotman Paris sempat memberikan perbandingan. Ia menilai nasib kliennya, Nadiem, mirip Thomas Trikasih Lembong. Lembong adalah eks Mendag. Ia terseret kasus korupsi importasi gula kristal.
Hotman menekankan, dalam kasus Nadiem, tidak ada aliran dana. Penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung tidak menemukan satu rupiah pun. Uang itu disebut masuk ke kantong Nadiem.
“Nasib Nadiem sama dengan nasib Lembong,” kata Hotman. “Tidak ada, satu rupiah yang jaksa temukan uang masuk ke kantongnya Nadiem.” Ini menjadi inti pembelaan pihak Nadiem.
Kejagung sebelumnya telah menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka. Status ini terkait kasus dugaan korupsi. Program Digitalisasi Pendidikan periode 2019-2022 menjadi sorotan utama.
Selama periode tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengadakan proyek besar. Sebanyak 1,2 juta unit laptop dipesan. Ditujukan untuk sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Fokusnya di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal).
Total anggaran proyek ini mencapai angka fantastis. Yaitu, Rp9,3 triliun. Angka ini menunjukkan skala besar dari program yang bertujuan mulia tersebut.
Pengadaan laptop ini memilih sistem operasi Chrome atau Chromebook. Namun, pilihan ini menuai kritik. Banyak ditemukan kelemahan. Sistem ini dianggap tidak efektif untuk sarana pembelajaran. Terutama di daerah 3T yang belum memiliki akses internet memadai.
Selain Nadiem, empat orang lainnya juga ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah pejabat dan konsultan terkait. Peran mereka diduga krusial dalam skandal ini.
Para tersangka itu meliputi Mulyatsyah. Ia menjabat Direktur SMP Kemendikbudristek 2020-2021. Kemudian Sri Wahyuningsih, Direktur SD Kemendikbudristek 2020-2021.
Ada juga Jurist Tan, mantan staf khusus Mendikbudristek Nadiem Makarim. Serta Ibrahim Arief, mantan Konsultan Teknologi pada Kemendikbudristek. Keempatnya kini menghadapi jeratan hukum.
Perbuatan para tersangka ini diduga merugikan negara. Total kerugian mencapai Rp1,98 triliun. Angka ini sangat besar dan berdampak signifikan.
Kerugian itu terbagi menjadi dua komponen utama. Kerugian akibat Item Software (CDM) sebesar Rp480 miliar. Serta mark up harga laptop yang mencapai Rp1,5 triliun. Kedua komponen ini menunjukkan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang.
Penegasan Kejagung menyoroti pentingnya memahami definisi korupsi secara utuh. Fokus pada “memperkaya orang lain” membuka dimensi baru dalam penanganan kasus ini. Ini bukan sekadar tentang penerimaan dana pribadi.
Pihak penyidik masih akan terus menggali. Mereka bertekad mengungkap fakta-fakta hukum yang lebih mendalam. Tujuannya adalah memastikan semua pihak yang bertanggung jawab menerima konsekuensi hukum.
Kasus ini menjadi ujian berat bagi integritas program digitalisasi pendidikan. Juga bagi upaya pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintahan. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam setiap proyek negara.
Masyarakat menantikan perkembangan selanjutnya. Pengungkapan detail siapa saja yang diuntungkan akan menjadi sorotan. Serta bagaimana seluruh jaringan korupsi ini akhirnya terbongkar.
Pertarungan hukum antara Kejagung dan kubu Nadiem diprediksi akan berlangsung sengit. Argumentasi “tidak ada uang masuk kantong” akan diuji. Terutama di bawah interpretasi hukum korupsi yang lebih luas oleh Kejagung.
Skandal ini berpotensi memberikan pelajaran berharga. Terutama mengenai pengawasan dan perencanaan proyek-proyek besar. Terlebih yang menyentuh hajat hidup orang banyak seperti pendidikan di daerah 3T.
Kejagung berkomitmen penuh. Mereka ingin membawa keadilan bagi kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah. Publik berharap kasus ini tuntas tanpa pandang bulu.
