Kekecewaan Mendalam Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan: Restitusi Rp10 Juta Jauh dari Harapan

10 Min Read

ap – Surabaya, CNN Indonesia – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah menyerahkan restitusi. Penyerahan ini ditujukan kepada keluarga 72 korban Tragedi Kanjuruhan. Acara berlangsung di Surabaya pada Kamis (28/8) lalu. Namun, momentum ini diwarnai kekecewaan mendalam. Sejumlah ahli waris korban tragedi itu masih menyimpan pil pahit. Mereka merasa jumlah ganti rugi tidak sebanding.

Uang tunai restitusi diserahkan secara langsung. Ketua LPSK Achmadi memimpin penyerahan ini. Dari pihak Kejaksaan Negeri Tinggi (Kejati) Jawa Timur, Kasi A Pada Aspidum Kejati Rizky Pratama turut hadir. Ia menjadi saksi atas proses penyerahan.

Achmadi menjelaskan proses ini. “Hari ini LPSK memfasilitasi penyerahan restitusi,” katanya. Ini ditujukan bagi 72 korban Tragedi Kanjuruhan. Peristiwa memilukan itu terjadi pada 1 Oktober 2022.

“Restitusi ini tentu memulai sebuah perjalanan yang cukup panjang,” lanjut Achmadi. “Dan hari ini Alhamdulillah bisa kita laksanakan bersama.” Kata-kata tersebut terucap di tengah suasana haru.

Penyerahan restitusi ini memiliki dasar hukum. Dasarnya adalah Penetapan restitusi Nomor 1/RES.PID/2025/PT. Penetapan ini dikeluarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya. Keputusan diambil pada 24 Februari 2025. Kemudian diumumkan dalam persidangan pada 3 Maret 2025.

Dalam penetapan tersebut, terdapat lima termohon. Mereka harus membayar total restitusi Rp670 juta. Masing-masing termohon diwajibkan membayar Rp134 juta. Ini adalah kewajiban yang telah diputuskan oleh pengadilan.

Lima termohon ini adalah terpidana Tragedi Kanjuruhan. Mereka meliputi Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris. Ada juga Security Officer pertandingan Arema FC vs Persebaya, Suko Sutrisno. Eks Danki 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan termasuk di dalamnya.

Kemudian Mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi. Terakhir adalah Eks Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto. Nama-nama ini menjadi sorotan publik.

Restitusi ini dibagikan kepada 72 korban. Rinciannya adalah Rp10 juta untuk korban meninggal dunia. Terdapat 63 korban jiwa dalam tragedi itu. Sementara itu, untuk korban luka, besarannya adalah Rp5 juta. Ada 8 korban yang mengalami luka-luka.

Achmadi menegaskan peran LPSK. Lembaga ini telah memberikan perlindungan komprehensif. Perlindungan itu meliputi Pemenuhan Hak Prosedural. Lalu ada Perlindungan Fisik bagi korban. Bantuan Medis juga telah diberikan. Serta Rehabilitasi Psikologis. Terakhir, LPSK memfasilitasi restitusi ini.

“Penyerahan restitusi ini bagian dari komitmen LPSK,” ungkap Achmadi. “Untuk mengawal peristiwa Kanjuruhan dari awal.” Komitmen ini berlanjut hingga pemulihan korban. Pemulihan tersebut diwujudkan melalui restitusi.

Namun, ada pertanyaan besar. Besaran restitusi turun drastis. Dari tuntutan awal Rp200 juta, kini hanya menjadi Rp10 juta per korban. Achmadi menjelaskan bahwa ini adalah putusan pengadilan. “Ya itu keputusan dari pengadilan,” katanya. “Itu yang kita terima.”

LPSK hanya melaksanakan mandat tersebut. “Sehingga kita melaksanakan mandat itu,” jelas Achmadi. “Jadi kewenangan, kita melakukan penilaian.” LPSK memfasilitasi penilaian tersebut. Lalu dimasukkan dalam mekanisme ke jaksa penuntut umum. “Kemudian putusan terakhir seperti itu,” pungkasnya. Penjelasan ini tidak menghilangkan kekecewaan.

Keluarga korban tetap merasa kecewa. Keputusan pengadilan ini meninggalkan luka baru. Rini Hanifah (48) adalah salah satunya. Ia adalah ibu dari almarhum Agus Riansyah Putra (20). Rini menilai restitusi yang diterima jauh dari harapan. Ia merasa ada kejanggalan dalam proses ini.

“Kalau menurut saya ini masalah restitusi ini semuanya itu pembohongan semua,” kata Rini. Nadanya penuh kekecewaan. “Karena tuntutan kita itu bukan Rp250 juta pertama per orang yang meninggal dunia.” Ia mengingat tuntutan awal yang begitu besar.

“Tapi waktu kita di sidang, kenapa turun Rp15 juta,” lanjut Rini. “Setelah di sidang lagi banding, seharusnya kalau banding itu malah tambah tinggi.” Ia merasa tidak masuk akal sama sekali. “Ini enggak, tambah merosot Rp10 juta.” Penurunan nilai ini sulit diterima oleh hati nuraninya.

Pada Februari 2023, keluarga korban berjuang. Sebanyak 72 korban tewas dan luka. Mereka melalui LPSK dan kuasa hukumnya. Mengajukan restitusi sebesar Rp17,414 miliar. Rinciannya adalah Rp200 juta hingga Rp500 juta. Ini untuk masing-masing korban.

Namun, pada 31 Desember 2024, putusan keluar. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengabulkan. Permohonan restitusi itu ditujukan kepada 71 korban. Korban meninggal dan luka Tragedi Kanjuruhan. Tetapi, jumlahnya jauh dari tuntutan Rp17,2 miliar, menjadi hanya Rp1,02 miliar.

Dengan rincian Rp15 juta untuk korban tewas. Dan Rp10 juta untuk korban luka-luka. Putusan ini tentu saja mengecewakan. Para korban, melalui kuasa hukumnya, tidak menyerah. Mereka mengajukan banding pada Januari 2025. Ini adalah upaya terakhir dalam pencarian keadilan.

Hasil banding pun keluar. Berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya. Nomor 1/RES.PID/2025/PT pada 24 Februari 2025. Nilai restitusi kembali dipangkas. Menjadi hanya Rp670 juta. Ini adalah pukulan telak yang menyakitkan.

Rinciannya menjadi Rp10 juta untuk korban meninggal dunia. Sebanyak 63 orang termasuk di dalamnya. Dan Rp5 juta untuk korban luka. Ada 8 korban luka yang menerima jumlah ini. Penurunan ini menimbulkan kemarahan dan frustrasi.

Menghadapi putusan banding itu, Rini mengaku terpaksa. Ia menerima uang tersebut bukan karena rela. Melainkan karena situasi yang menghimpit. Menurutnya, uang itu adalah hak dari anaknya. Hak yang seharusnya mereka terima.

“Sebenarnya kami enggak mau terima,” ujar Rini. Ia berbicara dengan berat hati dan air mata. “Tapi kalau kami enggak menerima, haknya anak kami kan masih ada.” Ini menunjukkan dilema yang dihadapi keluarga. Sebuah pilihan sulit di tengah nestapa.

Rini hanya bisa menghela napas panjang. Kenangan akan putranya, Agus, masih sangat segar. Setiap lembar uang yang diterima terasa getir. Ini bukan tentang nilai materi semata. Melainkan tentang harga sebuah nyawa yang hilang. Harga sebuah keadilan yang terasa begitu mahal. Dan tampaknya sulit tergapai. Ia merasa terus diuji oleh takdir.

Perasaan senada disampaikan oleh Sanuar (58). Ia adalah ayah dari korban almarhumah Eka Priyanti Mei Wulandari (18). Sanuar berharap proses hukum dapat berlanjut. Ia ingin para pelaku yang belum bertanggung jawab segera dituntaskan.

“Tolonglah ini tuntaskan,” pinta Sanuar. Suaranya penuh harap dan kesedihan. “Jadi segala permasalahan yang tentang ada di Kanjuruhan mohon untuk dituntaskan.” Ia tidak ingin kasus ini menguap begitu saja tanpa penyelesaian.

“Jangan istilahnya setelah berbuat seperti itu penembakan gas air mata,” lanjut Sanuar. “Sampai menimbulkan 135 [orang tewas] lebih itu tidak bertanggung jawab.” Ia menuntut pertanggungjawaban penuh. “Jadi saya minta pertanggungjawabannya semua.” Permintaan ini bukan hanya miliknya, melainkan suara kolektif.

Permintaan Sanuar bukan tanpa alasan. Ia menyaksikan sendiri bagaimana Tragedi Kanjuruhan mengubah segalanya. Hidupnya dan keluarga korban lainnya tidak akan sama lagi. Setiap langkah hukum menjadi harapan kecil. Harapan untuk mendapatkan jawaban. Jawaban atas apa yang terjadi. Dan mengapa harus terjadi. Sebuah kebenaran yang utuh dan adil. Ini adalah tuntutan moral mereka. Sebuah janji yang harus ditepati oleh negara.

Baik Rini maupun Sanuar memiliki permintaan lain. Mereka meminta perhatian pada korban luka-luka. Korban Tragedi Kanjuruhan yang terluka juga butuh dukungan. Pasalnya, banyak dari mereka mengalami keterbatasan. Ini adalah dampak dari kejadian kelam 1 Oktober 2022 silam.

“Tolong jangan yang memperhatikan yang meninggal saja,” kata Rini. Ia menekankan pentingnya pemerataan perhatian. “Yang luka-luka pun harus diperhatikan.” Banyak korban luka masih berjuang. “Karena sampai sekarang yang luka itu masih trauma.” Trauma fisik dan mental masih menghantui mereka. Mereka butuh uluran tangan.

Banyak dari mereka yang selamat. Namun, harus hidup dengan luka fisik dan batin. Beberapa kehilangan pekerjaan. Yang lain kesulitan beraktivitas normal. Bekas trauma masih sangat nyata. Mimpi buruk sering datang menghantui. Perhatian penuh sangatlah dibutuhkan. Bukan hanya janji-janji kosong. Melainkan tindakan nyata. Dukungan berkelanjutan. Agar mereka bisa bangkit kembali dan menjalani hidup.

Tragedi Kanjuruhan meninggalkan luka mendalam. Bukan hanya bagi yang meninggal. Tetapi juga bagi yang bertahan hidup. Banyak korban luka mengalami cacat permanen. Beberapa lainnya menderita trauma psikologis berkepanjangan. Mereka membutuhkan dukungan jangka panjang. Namun, besaran restitusi ini dirasa tidak mencukupi.

Keluarga berharap ada keadilan sejati. Bukan sekadar angka di atas kertas. Keadilan yang mampu mengobati luka. Luka hati dan fisik yang mereka alami. Perjalanan panjang ini belum usai. Mereka akan terus berjuang.

Penyerahan restitusi ini menjadi babak baru. Namun, juga membuka kembali luka lama. Kekuatan hukum telah berbicara. Tetapi, suara hati keluarga korban terus menggema. Mereka menuntut lebih dari sekadar uang. Mereka menuntut keadilan yang menyeluruh.

Peristiwa di Kanjuruhan adalah pengingat. Bahwa setiap nyawa berharga. Dan pertanggungjawaban harus ditegakkan. Bukan hanya untuk yang telah tiada. Tetapi juga untuk mereka yang masih berjuang. Keadilan sejati harus diwujudkan untuk semua.

Share This Article