ap – Dua mural bergambar Jolly Roger, ikon dari anime populer ‘One Piece’, di Padukuhan Temulawak, Triharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, telah dihapus pada Kamis (7/8) sore. Penghapusan ini dilakukan oleh sejumlah pemuda setempat dengan ditindih cat putih, dan diawasi oleh aparat TNI-Polri. Lokasi mural berada di Jalan Temulawak, menghiasi tembok rumah dan pagar warga. Insiden ini memicu diskusi tentang kebebasan berekspresi, interpretasi simbol, dan peran aparat dalam ranah seni publik.
Menurut keterangan Babinsa Triharjo, Serma Hadi Suroso, penghapusan mural ini merupakan hasil koordinasi dengan lurah, dukuh, dan pemilik rumah terkait. Alasan yang dikemukakan adalah edukasi mengenai lambang Bendera Merah Putih. Serma Hadi bahkan mengklaim bahwa tindakan ini adalah instruksi dari pimpinan. Ia menyampaikan apresiasinya atas penghilangan gambar tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan landasan Bendera Merah Putih. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa mural ‘One Piece’ yang menggunakan latar belakang merah putih dianggap melecehkan lambang negara, karena menurutnya, merebut kemerdekaan dan Merah Putih tidak semudah menggambar. Dukuh Temulawak, Hardi Wiyanto, juga membenarkan adanya koordinasi sebelum penghapusan dan menyatakan akan memberikan pengertian kepada pemilik rumah agar kejadian serupa tidak terulang.
Alex, salah seorang pemuda yang mengaku ikut melukis mural tersebut pada Rabu (6/8) malam, mengungkapkan kekecewaannya namun menerima keputusan tersebut. Ia mengklaim bahwa mural tersebut tidak terkait dengan fenomena pengibaran bendera ‘One Piece’ yang sempat viral, melainkan merupakan simbol dari komunitas suporter klub sepak bola yang mereka dukung. Dengan demikian, terdapat perbedaan interpretasi mengenai makna dan tujuan dari mural tersebut. Di satu sisi, aparat keamanan melihatnya sebagai potensi pelecehan terhadap lambang negara, sementara di sisi lain, pemuda pembuat mural menganggapnya sebagai ekspresi identitas komunitas. Kasus penghapusan mural ini membuka ruang diskusi tentang batasan kebebasan berekspresi di ruang publik, khususnya ketika bersinggungan dengan simbol-simbol negara. Perlu adanya dialog yang konstruktif antara berbagai pihak, termasuk seniman, aparat, dan masyarakat, untuk mencapai pemahaman yang lebih baik dan menghindari kejadian serupa di masa depan. Penghapusan ini juga menyoroti pentingnya pemahaman yang komprehensif terhadap konteks budaya dan sosial dalam menilai sebuah karya seni. Simbol-simbol yang mungkin dianggap sensitif oleh sebagian pihak, bisa jadi memiliki makna yang berbeda bagi kelompok masyarakat lainnya. Oleh karena itu, pendekatan yang bijaksana dan dialog yang terbuka sangat diperlukan dalam menyelesaikan perbedaan interpretasi dan menjaga keharmonisan sosial. Kisah mural ‘One Piece’ di Sleman ini menjadi cermin bagi kompleksitas hubungan antara seni, identitas, dan negara di era modern.
