PDIP Desak Penghentian PSN di Merauke, Tanah Adat Yei Terancam

6 Min Read

ap – Fraksi PDI Perjuangan DPR RI mendesak penghentian sementara Proyek Strategis Nasional (PSN) di Distrik Jagebob, Merauke. Desakan ini muncul menyusul dugaan perampasan tanah adat milik masyarakat Yei. Konflik lahan ini semakin memanas di tengah upaya pembangunan.

Anggota DPR RI Komisi XIII, Marinus Gea, menegaskan pentingnya desakan tersebut. Negara tidak boleh membiarkan pembangunan berjalan dengan mengorbankan hak-hak fundamental warganya. Pernyataan ini disampaikan sebagai bentuk keprihatinan mendalam.

Marinus Gea menekankan bahwa tanah adat memiliki nilai lebih dari sekadar lahan. Ini adalah identitas dan budaya masyarakat. Bahkan, tanah adat seringkali menjadi sumber kehidupan utama bagi warga setempat yang bergantung padanya.

Menurutnya, upaya perampasan tanah adat demi proyek nasional adalah pengkhianatan terhadap konstitusi. Konstitusi menjamin hak-hak dasar warga negara. Tindakan semacam ini dinilai mencederai semangat bernegara.

“Tanah adat ini kan sebagai identitas dan budaya masyarakat, bahkan bisa saja tanah adat ini menjadi sumber hidup warga setempat,” ujar Marinus Gea. “Jadi upaya perampasan tanah adat ini demi pembangunan proyek nasional sebagai bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.” Pernyataan ini diterima pada Senin (22/9).

Lebih lanjut, Marinus Gea menyebut tindakan tersebut sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang nyata. Negara, melalui proyek ini, dituding melanggar hak rakyatnya sendiri. Hal ini menjadi sorotan serius di parlemen.

Situasi ini semakin menguatkan dorongan Fraksi PDIP. Mereka mendesak agar Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan masyarakat adat segera disahkan. RUU ini diharapkan menjadi payung hukum bagi masyarakat adat.

“Tindakan intimidasi, penggusuran, hingga penyerobotan lahan masyarakat di Yei merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang nyata,” kata Marinus. Pernyataan ini menggambarkan betapa seriusnya masalah di lapangan.

Politisi PDIP itu juga menyayangkan peran negara dalam kasus ini. Ia khawatir jika negara justru menjadi alat kepentingan korporasi. Kondisi ini bisa mengorbankan tanah adat yang vital bagi masyarakat.

Tanah adat, dalam konteks ini, berisiko dijadikan komoditas semata. Kepentingan bisnis korporasi dituding menggeser prioritas perlindungan hak masyarakat. Negara diminta tidak absen dalam melindungi warganya.

“Dalam kasus Yei ini, negara tidak boleh hadir sebagai penjahat bagi warganya,” tegas Marinus. “Dengan membiarkan tanah adat menjadi lahan komoditas untuk kepentingan korporasi.” Pesan ini sangat kuat.

Marinus Gea juga memperingatkan konsekuensi jangka panjang. Jika pemerintah mengabaikan hak masyarakat adat, akan timbul luka sosial. Ketidakadilan dan konflik berkepanjangan bisa menjadi kenyataan.

Ia menambahkan, “Jika hal ini tidak menjadi perhatian pemerintah yang telah mengabaikan hak masyarakat adat, maka peristiwa ini akan melahirkan luka sosial, ketidakadilan hingga konflik berkepanjangan.” Kondisi serupa bisa meluas.

“Perampasan tanah adat di daerah-daerah lainnya bisa saja terjadi,” imbuhnya. Peringatan ini menunjukkan kekhawatiran akan preseden buruk. Kasus Yei bisa menjadi awal dari masalah yang lebih besar.

Oleh karena itu, Marinus Gea meminta pemerintah. Seluruh aktivitas PSN di Kebun Tebu Merauke harus dihentikan sementara. Penghentian ini harus dilakukan hingga ada jaminan.

Jaminan tersebut adalah perlindungan hak-hak masyarakat adat Yei. Hak mereka harus diakui dan dihormati sepenuhnya. Ini adalah prasyarat sebelum proyek dilanjutkan.

“Fraksi PDIP dalam hal ini Komisi XIII mendesak pemerintah agar bertindak secara tegas,” katanya. Ini termasuk terhadap kegiatan di Yei. Pemerintah diminta tidak ragu mengambil langkah.

Pemerintah juga didesak melakukan audit izin konsesi. Izin yang sudah diberikan perlu diperiksa secara menyeluruh. Audit ini untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan hak masyarakat.

Marinus lebih lanjut menegaskan pentingnya dialog terbuka. Dialog harus melibatkan warga dan pemerintah. Mekanisme perlindungan masyarakat adat yang jelas dan mengikat juga dibutuhkan.

“Libatkan lembaga independen seperti Komnas HAM,” kata Marinus Gea. Kehadiran lembaga ini diharapkan mencegah intimidasi. Penyerobotan tanah dengan dalih PSN harus dihentikan.

“Agar kedepan tidak lagi semena-mena melakukan intimidasi dan penyerobotan tanah dengan dalil PSN,” lanjutnya. Proyek pembangunan tidak boleh membuat warga sengsara.

Sebelumnya, telah dikabarkan tentang salah satu perusahaan. Perusahaan ini mengantongi izin konsesi seluas 52.700 hektare. Izin tersebut untuk kebun tebu di Distrik Jagebob, Merauke.

Perusahaan ini dituding merampas tanah adat masyarakat Yei. Tuduhan ini menambah daftar panjang masalah yang menyertai proyek. Proyek ini memang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional.

Yayasan Pusaka mencatat, hingga Agustus 2025, 4.912 hektare hutan sudah dibongkar. Angka ini menunjukkan dampak signifikan terhadap lingkungan. Pembongkaran hutan terjadi demi perluasan kebun tebu.

Masyarakat adat menolak keras proyek ini. Mereka menyebut perusahaan melakukan intimidasi. Penyerobotan tanah juga menjadi keluhan utama warga Yei yang terdampak.

Penolakan ini menunjukkan ketegangan yang tinggi. Hak-hak tradisional masyarakat adat dipertaruhkan. Mereka berjuang mempertahankan tanah leluhur mereka.

Greenpeace juga menilai PSN Merauke. Mereka menyebut proyek ini merampas hak masyarakat adat. Proyek ini juga mengancam keanekaragaman hayati yang kaya di Papua.

Organisasi lingkungan tersebut menyoroti keterlibatan aparat keamanan. Keterlibatan ini, menurut Greenpeace, memicu teror. Suasana ketakutan menyelimuti masyarakat setempat.

Tidak hanya itu, Komnas HAM pun telah bersuara. Lembaga ini dikabarkan menemukan indikasi pelanggaran HAM. Pelanggaran ini berasal dari aktivitas proyek tersebut.

Temuan Komnas HAM semakin memperkuat desakan. Hak asasi manusia masyarakat Yei harus diprioritaskan. Pembangunan tidak boleh mengorbankan kemanusiaan.

Laporan ini ditutup dengan kode (P-4), menandakan sumber berita. Fraksi PDIP DPR mendesak penghentian sementara Proyek Strategis Nasional (PSN) di Distrik Jagebob, Merauke. Desakan ini muncul karena proyek tersebut diduga mengganggu hak-hak masyarakat adat, termasuk pelanggaran HAM dan perampasan tanah adat terkait proyek kebun tebu.

Share This Article