ap – Langkah Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri membekukan sementara penggunaan sirine dan rotator di jalan raya menuai sorotan. Kebijakan ini, yang dikenal sebagai respons terhadap keresahan publik, mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Salah satunya adalah akademisi kondang, Rocky Gerung.
Rocky Gerung secara tegas menyatakan persetujuannya. Ia menilai keputusan yang diambil oleh Kakorlantas Polri Irjen Agus Suryonugroho ini sangat tepat. Sebuah langkah yang menunjukkan kepekaan institusi.
Menurut Gerung, respons cepat dari Kakorlantas mencerminkan pemahaman mendalam. Ini adalah bukti institusi mendengar dan menanggapi kegelisahan masyarakat. Sinyal positif yang patut diacungi jempol.
Publik memang sudah lama merasakan ketidaknyamanan. Penggunaan sirine yang sembarangan telah menjadi sumber keluhan. Kebijakan baru ini diharapkan bisa meredakan keresahan tersebut.
Gerung lantas membahas makna filosofis sirine. Dalam mitologi Yunani, sirine diartikan sebagai bujuk rayu dengan suara merdu. Sebuah melodi yang memikat perhatian.
Namun, realitas di perkotaan saat ini jauh berbeda. Suara sirine justru menjadi sumber kebisingan. Makna aslinya telah jauh bergeser dari esensi yang seharusnya.
“Suara merdu bila dipaksakan jadi kebisingan,” kata Gerung. Ini menggambarkan bagaimana niat baik bisa berubah menjadi gangguan. Kehilangan fungsinya sebagai penanda prioritas.
Gerung memuji keberanian kepolisian. Mereka berani mengevaluasi diri sebelum tuntutan publik meluas. Sebuah indikasi kemauan untuk berbenah.
“Pak Agus tepat, sebelum dituntut publik lebih jauh, kepolisian berani mengevaluasi diri,” ujarnya. Ini adalah langkah preventif yang cerdas. Menghindari konflik yang lebih besar dengan masyarakat.
Hasil evaluasi ini jelas. Penggunaan sirine sembarangan harus dihentikan. Sebuah pesan tegas dari institusi. Demi kenyamanan bersama di jalan.
Pembekuan sementara ini merupakan bentuk evaluasi. Gerung menyebutnya sebagai langkah tepat. Mengevaluasi kebijakan yang sudah berjalan.
Tanpa aturan yang jelas, sirine justru menimbulkan efek negatif. Ia bisa menjadi pemicu stres harian. Khususnya bagi pengguna jalan lainnya.
“Mereka yang memanfaatkan fasilitas itu membuat publik terganggu,” jelas Gerung. “Setiap hari orang jadi stres di jalan hanya karena tetot-tetot.” Sebuah gambaran nyata kondisi di lapangan.
Situasi ini menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap ruang publik. Jalan raya seolah menjadi arena pamer kekuasaan. Mengabaikan hak pengguna jalan lain.
Gerung pun menyerukan pentingnya peradaban. Ia meminta semua pihak menghargai ruang publik. Dengan cara yang lebih beradab.
Jalan raya, menurutnya, bukan sekadar jalur transportasi. Ia adalah ruang peradaban bagi masyarakat. Tempat interaksi yang harus dijaga.
“Sirene mestinya bunyi merdu, bukan menakutkan,” pungkas Gerung. Ini adalah harapan agar fungsi sirine kembali pada esensinya. Menjadi penanda yang membantu, bukan mengintimidasi.
“Saya setuju bahwa tetot-tetot dihentikan.” Kalimat ini menegaskan dukungan penuhnya. Untuk mengakhiri praktik penggunaan sirine yang mengganggu.
Ia menantikan era baru di jalan raya. “Selanjutnya kita ingin mendengar nyanyian masyarakat sipil bahwa jalan raya artinya jalan peradaban.” Sebuah visi akan tertibnya lalu lintas.
Sebelumnya, Korlantas Polri memang telah mengambil tindakan. Mereka resmi membekukan sementara penggunaan sirine dan rotator. Terutama yang bersuara ‘Tot Tot Wuk Wuk’.
Langkah ini adalah respons langsung atas kritikan masyarakat. Sebuah pengakuan terhadap validitas keluhan publik. Menunjukkan Korlantas peka terhadap dinamika sosial.
Irjen Agus Suryonugroho mengakui adanya permasalahan. Pihaknya sedang menyusun ulang aturan. Tujuannya mencegah penyalahgunaan.
Aturan baru diharapkan bisa membedakan pengguna. Hanya mereka yang berhak yang boleh memakai sirine. Mencegah pihak yang tidak berwenang ikut-ikutan.
“Kami menghentikan sementara penggunaan suara-suara itu, sembari dievaluasi secara menyeluruh,” ujar Agus. Ini adalah proses komprehensif. Meninjau ulang seluruh aspek kebijakan.
Meskipun ada pembekuan sirine, Agus menegaskan pengawalan tetap berjalan. Terutama untuk kendaraan pejabat. Prioritas keamanan tetap dijaga.
Namun, ada penekanan kuat pada penggunaannya. Sirine hanya boleh digunakan pada kondisi tertentu. Yang benar-benar membutuhkan prioritas.
“Kalau pun digunakan, sirene itu untuk hal-hal khusus, tidak sembarangan,” jelasnya. Ini menunjukkan pembatasan yang ketat. Hanya untuk situasi yang mendesak.
Saat ini, sifatnya adalah himbauan. Agar sirine tidak dipakai bila tidak mendesak. Sebuah masa transisi menuju aturan yang lebih permanen.
Agus berharap aturan baru akan lebih jelas. Mengatur penggunaan sirine secara adil. Menjaga ketertiban dan kenyamanan semua pihak.
Langkah Korlantas menunjukkan upaya menyeimbangkan kepentingan. Antara kebutuhan prioritas dan hak masyarakat. Sebuah langkah menuju lalu lintas yang lebih harmonis.
Masyarakat menaruh harapan besar pada kebijakan ini. Sirine bukan lagi simbol intimidasi. Melainkan penanda darurat yang dihormati.
Inisiatif ini bisa menjadi titik awal. Untuk menciptakan budaya lalu lintas yang lebih baik. Di mana setiap pengguna jalan saling menghargai.
Melalui penertiban sirine, jalan raya bisa kembali ke fungsinya. Sebagai jalur peradaban yang nyaman. Bukan medan persaingan atau pamer kekuasaan.
Dampak positifnya akan sangat terasa. Kurangnya kebisingan, berkurangnya stres. Meningkatkan kualitas hidup di perkotaan.
Seperti yang dikatakan Rocky Gerung, ini adalah tentang “jalan peradaban.” Bukan lagi tentang “tetot-tetot” yang mengganggu. Sebuah perubahan ke arah yang lebih baik.
