Tanggul Misterius di Pesisir Utara Jakarta, Antara Urgensi dan Konflik Nelayan

8 Min Read

ap – Jakarta, kota megapolitan yang terus berkembang, kembali dihadapkan pada sebuah polemik. Kali ini, sebuah tanggul beton raksasa yang membentang di pesisir utara Jakarta menjadi sorotan publik. Keberadaannya sontak menuai tanda tanya besar dari berbagai kalangan masyarakat.

Tanggul ini, yang terletak tepatnya di kawasan Cilincing, Jakarta Utara, viral di media sosial. Video-video yang beredar menunjukkan struktur kokoh ini, dengan cepat menjadi perbincangan hangat. Banyak pihak mempertanyakan tujuan dan siapa di balik pembangunannya.

Sorotan utama datang dari para nelayan setempat. Mereka mengeluhkan bahwa tanggul beton tersebut secara langsung mengganggu aktivitas melaut. Jalur tradisional mereka kini terblokir, memaksa untuk mencari rute alternatif yang lebih jauh dan memakan waktu.

Dilihat dari rekaman yang viral pada Rabu, 10 September 2025, tanggul beton itu diperkirakan membentang sepanjang 2 hingga 3 kilometer. Lokasinya yang strategis di pesisir Cilincing semakin memperparah kondisi. Ini bukan sekadar hambatan kecil, melainkan penghalang signifikan.

Seorang pria dalam video tersebut dengan lugas menyuarakan keresahan komunitas nelayan. “Tanggul beton di pesisir Cilincing menyulitkan nelayan melintas,” ujarnya. Kalimat ini menggambarkan keputusasaan yang dirasakan oleh warga pesisir.

Pihak berwenang pun mulai angkat bicara menanggapi kegaduhan ini. Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta menjadi salah satu yang pertama memberikan klarifikasi. Mereka dengan tegas membantah keterlibatan dalam proyek pembangunan tanggul tersebut.

Ciko Tricanescoro, Kepala Bidang Pengendalian Rob dan Pengembangan Pesisir Pantai Dinas SDA DKI Jakarta, menjelaskan posisinya. “Tanggul tersebut bukan bagian dari proyek atau pekerjaan tanggul NCICD,” katanya. Ini menepis spekulasi awal yang sempat beredar di masyarakat.

Penjelasan lebih lanjut juga datang dari Alfan Widyastanto. Sebagai Ketua Subkelompok Perencanaan Bidang Pengendalian Rob dan Pengembangan Pesisir Pantai Dinas SDA DKI Jakarta, ia memberikan penegasan. Pihaknya tidak pernah mengeluarkan izin.

“Dinas SDA DKI Jakarta tidak mengeluarkan izin dan tidak memiliki kewenangan terkait pembangunan tanggul tersebut,” ujar Alfan. Pernyataan ini semakin memperumit situasi. Jika bukan Dinas SDA, lalu siapa yang memiliki otoritas atas proyek ini?

Polemik bergeser ketika Staf Khusus Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta Bidang Komunikasi Sosial, Chico Hakim, memberikan pandangannya. Menurutnya, pembangunan tanggul beton di Cilincing bukanlah tanggung jawab Pemerintah Provinsi Jakarta. Ini adalah isu pusat.

Chico Hakim secara terang-terangan menyebut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai pihak yang berwenang. “Itu adalah kewenangan dari KKP. Perizinan terkait itu menjadi kewenangan KKP,” kata Chico kepada awak media, pada hari yang sama.

Lokasi tanggul yang berdekatan dengan Pelabuhan Marunda juga menjadi poin penting. Chico Hakim menyarankan untuk bertanya langsung kepada pengelola pelabuhan. Mereka, menurutnya, seharusnya memiliki detail perizinan dan tujuan pembangunan.

“Karena ini kewenangan pusat yang dikelola oleh Pelabuhan Marunda. Jadi silakan tanyakan kepada pengelola Pelabuhan. Pengelolaannya adalah PT itu,” imbuh Chico. Ini mengarahkan pertanyaan kepada entitas swasta atau BUMN yang mengelola pelabuhan.

Akhirnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun turut merespons. Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, Pung Nugroho Saksono, yang akrab disapa Ipunk, memberikan konfirmasi. Tanggul ini bukan bagian dari proyek raksasa.

“Bukan (proyek tanggul laut raksasa),” tegas Ipunk, seperti dilansir detikFinance, Rabu, 10 September 2025. Ini penting untuk mengklarifikasi bahwa proyek ini terpisah dari inisiatif ‘giant sea wall’ yang lebih besar.

Lebih lanjut, Ipunk menyatakan bahwa timnya telah melakukan pemeriksaan menyeluruh. Hasilnya, aktivitas di kawasan tersebut dipastikan telah mengantongi izin. Izin yang dimaksud adalah Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).

“Itu sudah diperiksa oleh Tim PSDKP dan sudah ada izin PKKPRL,” imbuhnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa secara administratif, pembangunan tanggul memiliki landasan hukum. Namun, tujuannya masih menjadi misteri.

Ipunk sendiri masih enggan membeberkan lebih detail mengenai alasan dan kepentingan di balik pembangunan tanggul beton tersebut. Keterbukaan informasi ini sangat dinantikan publik, terutama para nelayan yang terdampak langsung.

Di tengah tarik ulur pernyataan antarlembaga, para nelayan tetap menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Kehidupan mereka bergantung pada laut. Terganggunya jalur melaut berarti terancamnya mata pencarian keluarga.

Rute memutar yang lebih jauh tidak hanya memakan waktu, tetapi juga menambah biaya operasional. Bahan bakar yang lebih banyak dan tenaga ekstra harus mereka keluarkan. Ini jelas membebani ekonomi rumah tangga nelayan di Cilincing.

Keberadaan tanggul beton ini telah mengubah lanskap pesisir. Para nelayan tradisional, yang selama ini hidup berdampingan dengan laut, kini merasa terasingkan. Rasa frustrasi dan ketidakpastian mulai menyelimuti komunitas mereka.

Namun, di balik polemik perizinan dan tanggung jawab, tersiar dugaan kuat mengenai tujuan tanggul ini. Sumber-sumber menyebutkan bahwa tanggul beton ini kemungkinan besar akan digunakan sebagai lokasi sandar tongkang batu bara.

Tidak hanya itu, tanggul ini juga diperkirakan akan berfungsi sebagai area penampungan batu bara. Jika dugaan ini benar, maka ini menjadi akar masalah utama. Aktivitas industri berat akan menggusur kegiatan tradisional nelayan.

Keberadaan fasilitas bongkar muat dan penampungan batu bara tentu akan sangat mengganggu ekosistem laut. Selain itu, pergerakan kapal-kapal besar akan semakin membatasi ruang gerak perahu-perahu nelayan kecil.

Kontras dengan dugaan ini, pembangunan tanggul beton secara umum di pesisir Jakarta Utara memiliki tujuan vital. Pemerintah telah lama merencanakan tanggul sebagai upaya perlindungan terakhir ibu kota. Tujuannya adalah mitigasi bencana.

Ancaman utama yang dihadapi Jakarta adalah kenaikan permukaan air laut. Fenomena ini diperparah dengan terus-menerusnya penurunan muka tanah di beberapa bagian kota. Oleh karena itu, tanggul menjadi benteng pertahanan krusial.

Namun, tanggul di Cilincing ini tampaknya memiliki konteks dan tujuan yang berbeda. Jika memang untuk kepentingan industri, maka ini menimbulkan pertanyaan. Apakah kepentingan ekonomi harus mengorbankan mata pencarian rakyat kecil?

Masyarakat menuntut transparansi penuh dari semua pihak terkait. Kejelasan mengenai siapa pembangunnya, apa tujuannya, dan bagaimana kompensasi untuk para nelayan sangatlah penting. Kabut misteri harus segera dihilangkan.

Tanpa penjelasan yang gamblang, ketidakpastian akan terus berlanjut. Kondisi ini dapat memicu konflik sosial yang lebih luas. Solusi yang adil dan berkelanjutan adalah harapan seluruh warga pesisir Jakarta Utara.

Kasus tanggul beton ini menjadi pengingat bagi pemerintah. Setiap pembangunan infrastruktur harus mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan secara menyeluruh. Hak-hak masyarakat lokal tidak boleh terabaikan.

Waktu terus berjalan, sementara tanggul beton kokoh berdiri. Para nelayan di Cilincing masih menunggu jawaban. Mereka berharap pemerintah dapat menempatkan kepentingan rakyat kecil di atas segalanya.

Dialog yang terbuka dan mediasi yang jujur adalah kunci. Ini demi mencari titik temu terbaik. Agar pembangunan dapat berjalan selaras dengan keberlangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Harapan akan keadilan terus digaungkan di tengah deru ombak. Tanggul misterius ini bukan hanya konstruksi fisik. Ia adalah simbol dari perjuangan masyarakat kecil melawan ketidakjelasan.

Kisah tanggul Cilincing akan terus menjadi perdebatan. Sampai semua pihak berwenang memberikan penjelasan yang memuaskan. Dan sampai solusi konkret bagi para nelayan dapat diwujudkan.

Share This Article